Konsep
Asesmen Nasional
Pengantar
Selamat!
Anda telah menyelesaikan asesmen pra program. Semoga Bapak dan Ibu sudah siap
untuk sama-sama belajar.
Pada
topik ini, Anda akan lebih jauh mengenal dan memahami mengenai Asesmen
Nasional. Melalui penjelasan pada fase orientasi, apa yang dapat Anda simpulkan
mengenai Asesmen Nasional?
Ya,
benar. Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah,
madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Mutu satuan
pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar siswa yang mendasar (literasi,
numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan
pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut diperoleh
dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei
Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
- Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)
yang mengukur kompetensi mendasar literasi membaca dan numerasi
siswa.
- Survei Karakter yang mengukur
sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter siswa
- Survei Lingkungan Belajar yang
mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di
kelas maupun di tingkat sekolah.
Seiring disosialisasikannya Asesmen Nasional, telah banyak respons yang disampaikan terkait konsep dan pelaksanaannya. Siswa, orangtua, guru, bahkan kepala sekolah mulai gelisah terkait penghapusan Ujian Nasional dan pemberlakuan Asesmen Nasional. Untuk menghindari hal itu, pemahaman yang utuh dan menyeluruh mengenai Asesmen Nasional pun perlu terus disebarluaskan. Apakah Anda sependapat?
Tujuan dan Manfaat Asesmen Nasional
Perubahan
sistem evaluasi dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional merupakan upaya untuk
memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh. Asesmen Nasional dirancang
untuk menghasilkan informasi akurat untuk memperbaiki kualitas
belajar-mengajar, yang pada gilirannya akan meningkatkan hasil belajar
siswa.
- Asesmen Nasional menghasilkan
informasi untuk memantau: (a) perkembangan mutu dari waktu ke waktu, dan
(b) kesenjangan antar bagian di dalam sistem pendidikan (misalnya di
satuan pendidikan: antara kelompok sosial ekonomi, di satuan wilayah
antara sekolah negeri dan swasta, antar daerah, ataupun antar kelompok
berdasarkan atribut tertentu).
- Asesmen Nasional bertujuan untuk
menunjukkan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama sekolah, yakni
pengembangan kompetensi dan karakter siswa.
- Asesmen Nasional juga memberi
gambaran tentang karakteristik esensial sebuah sekolah yang efektif untuk
mencapai tujuan utama tersebut. Hal ini diharapkan dapat mendorong sekolah
dan Dinas Pendidikan untuk memfokuskan sumber daya pada perbaikan mutu
pembelajaran.
Maka
dari itu, hasil Asesmen Nasional sendiri diharapkan mampu memberikan manfaat,
bukan sekedar nilai belaka. Pada tahun 2021, Mendikbud telah menyatakan bahwa
hasil Asesmen Nasional dimaksudkan sebagai peta awal mutu sistem pendidikan
secara nasional. Asesmen Nasional tidak akan digunakan untuk mengevaluasi
kinerja sekolah maupun daerah. Berikut infografis yang menjelaskan manfaat
asesmen nasional.
Kaitannya
dengan infografis tersebut, secara jangka panjang Asesmen Nasional memberi
kesempatan sekaligus menuntut guru dan sekolah untuk memperbaiki kualitas
pengajarannya guna menciptakan siswa yang lebih kompeten. Hal ini terlihat dari
penekanan pembelajaran dan asesmen yang lebih fokus pada daya nalar dalam
bentuk literasi membaca dan numerasi. Hal ini juga mendorong guru dan sekolah mengubah
praktik-praktik pembelajaran lama yang tidak lagi relevan dengan kondisi saat
ini.
Bagaimana
contohnya? Misalnya, guru ingin mengembangkan keterampilan literasi pada siswa.
Dalam hal ini, guru perlu memotivasi siswa untuk membaca tidak hanya dari buku
teks, tetapi bisa dari berbagai sumber. Guru juga perlu mengajak siswa
berdiskusi dan mengevaluasi informasi yang dibaca, tidak sekedar meringkas dan
mengulang kembali. Bagaimana dengan keterampilan numerasi? Pada keterampilan
numerasi, guru perlu memastikan siswa memiliki intuisi angka (number sense)
dan pemahaman aritmatika dasar sejak dini. Guru juga perlu memandu siswa
memecahkan masalah terkait numerasi yang terjadi dalam konteks kehidupannya.
Hal ini disebabkan masalah yang menuntut diskusi dan penalaran tidak dapat
dipecahkan hanya dengan menghafal rumus semata.
Membandingkan Asesmen Nasional dengan
Ujian Nasional
Beberapa
pertanyaan yang seringkali muncul terkait penghapusan Ujian Nasional dan
pemberlakuan Asesmen Nasional antara lain apakah Asesmen Nasional merupakan
pengganti Ujian Nasional. Timbul pula kekhawatiran mengenai persiapan siswa,
guru dan sekolah menghadapi Asesmen Nasional.
Untuk
mendapatkan informasi yang tepat, Anda perlu membandingkan beberapa hal penting
mengenai Ujian Nasional dan Asesmen Nasional terlebih dahulu. Berikut terdapat
informasi mengenai perbandingan Asesmen Nasional dengan Ujian Nasional.
Berikut
penjelasan setiap poin pembeda AN dan UN:
- Tujuan penyelenggaraan Asesmen
Nasional dan Ujian Nasional tidak sama. Seperti yang telah dijelaskan pada
topik dan aktivitas sebelumnya, Asesmen Nasional bertujuan untuk
mengevaluasi mutu sistem pendidikan di Indonesia, sedangkan Ujian Nasional
bertujuan untuk mengevaluasi capaian hasil belajar siswa secara
individu.
- AN diberlakukan untuk semua jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menengah
atas. Ini termasuk MI, MTS dan MAN, serta program kesetaraan. Sementara UN
berlaku mulai jenjang pendidikan menengah pertama dan atas saja.
- Asesmen Nasional tidak
diselenggarakan pada akhir jenjang pendidikan sebagaimana Ujian Nasional,
melainkan di tengah jenjang pendidikan. Yaitu pada kelas 5, 8, 11. Hal ini
dilakukan untuk mendorong guru dan sekolah melakukan tindak lanjut
perbaikan mutu pembelajaran setelah mendapatkan hasil laporan AN. Jadi
bukan sekedar untuk mengetahui capaian hasil belajar siswa sebagai salah
satu syarat kelulusan.
- Pada pelaksanaannya, Asesmen
Nasional menggunakan metode survei. Metode survei dilakukan dengan
mengambil sampel siswa diambil secara acak dari setiap sekolah. Berbanding
terbalik dengan Ujian Nasional yang menggunakan metode sensus dimana semua
siswa di seluruh Indonesia wajib mengikutinya.
- Model soal asesmen yang diberikan
dalam AN lebih bervariasi bukan sekedar pilihan ganda dan uraian singkat
sebagaimana yang diberikan dalam UN.
- Salah satu komponen hasil belajar
murid yang diukur pada asesmen nasional adalah literasi membaca dan
numerasi. Asesmen ini disebut sebagai Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)
karena mengukur kompetensi mendasar atau minimum yang diperlukan individu
untuk dapat hidup secara produktif di masyarakat. Sementara Ujian Nasional
berbasis mata pelajaran yang memotret hasil belajar murid pada mata
pelajaran tertentu. Hal inilah yang terkadang memberi kesan mata pelajaran
yang penting dan kurang penting dalam pendidikan. Dalam hal ini, AKM
memotret kompetensi mendasar yang diperlukan untuk sukses pada berbagai
mata pelajaran.
- Metode penilaian AN dan UN pun
berbeda meskipun keduanya berbasis komputer. AN menggunakan metode
penilaian Computerized Multistage Adaptive Testing (MSAT).
MSAT ialah metode penilaian yang mengadopsi tes adaptif, dimana setiap
siswa dapat melakukan tes sesuai level kompetensinya. .
Bapak
dan Ibu telah membandingkan Asesmen Nasional dan Ujian Nasional. Sebagai
tanggapan atas pemberlakuan Asesmen Nasional, berbagai respons pun muncul dari
sejumlah pihak mengenai kebijakan ini. Apakah kebijakan ini hanya sekedar
penggantian nama semata? Menurut Anda, apakah Asesmen Nasional merupakan
pengganti Ujian Nasional?
Benar.
Asesmen Nasional bukan pengganti Ujian Nasional. Selain dari teknis
pelaksanaannya, cakupan Asesmen Nasional berbeda jika dibandingkan dengan Ujian
Nasional. Asesmen Nasional lebih memberikan gambaran yang lebih utuh dan luas
mengenai mutu pendidikan, bukan hanya secara kognitif, namun juga karakter dan
iklim belajar.
Evaluasi Ujian Nasional
Berdasarkan
penjelasan pada aktivitas sebelumnya, Bapak dan Ibu telah membandingkan Asesmen
Nasional dan Ujian Nasional. Kebijakan pelaksanaan Asesmen Nasional juga
berangkat dari evaluasi yang dilakukan terhadap Ujian Nasional yang telah
berlangsung selama ini. Ujian Nasional menjadi lebih berorientasi pada
pencapaian hasil belajar individu dan pembelajaran yang berorientasi pada
ujian. Sasaran kompetensi yang diharapkan sebagai perbaikan mutu pendidikan
sendiri seringkali terabaikan. Selain itu, beberapa poin evaluasi berikut ini
juga menjadi pertimbangan untuk menghentikan pelaksanaan Ujian Nasional dan
menetapkan penyelenggaraan Asesmen Nasional.
Pertama,
Butir-butir soal UN hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, sehingga input dan
proses pembelajaran kurang dapat tergambarkan dengan baik. Hal ini belum
sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi serta kompetensi lain yang relevan dengan Abad 21, sebagaimana
tercermin pada Kurikulum 2013. Harapan untuk mengevaluasi keterampilan siswa
dalam menerapkan pengetahuan serta konsep melalui berbagai konteks kehidupan,
serta menunjukan karakter sebagaimana yang diharapkan dalam profil pelajar
pancasila belum lengkap dilakukan melalui UN saja.
Kedua,
UN kurang dapat dimanfaatkan guru untuk memperbaiki pembelajaran pada subjek
siswa yang sama. Asesmen Nasional dirancang untuk memberi dorongan lebih kuat
ke arah pengajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan kompetensi,
termasuk di dalamnya kemampuan bernalar.
Ketiga,
UN kurang optimal sebagai alat untuk mengevaluasi mutu pendidikan secara
nasional. Hal ini disebabkan UN diterapkan di akhir jenjang pendidikan lebih
sebagai assessment of learning yang mengukur capaian akhir,
bukan sebagai sebagai assessment for learning, yang mengukur proses
pembelajaran. Hasil UN tidak bisa digunakan untuk mengakomodir kebutuhan
belajar yang diperlukan siswa.
Pemberlakuan
Asesmen Nasional ini merupakan sinyalemen yang kuat dari pemerintah untuk terus
memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Dan dari ketiga poin tersebut, maka
sesungguhnya yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi Asesmen Nasional adalah
pemahaman mengenai tujuan dan manfaat Asesmen Nasional, serta implikasinya pada
perubahan praktik dan strategi pembelajaran di kelas. Siswa, guru, orangtua,
kepala satuan pendidikan tidak lagi direkomendasikan untuk berlatih soal-soal
persiapan AKM sebagaimana penilaian yang berbasis ujian.
Silakan
membaca penjelasan lengkap pada tautan berikut ini Tanya Jawab Ujian Nasional
Daftar Tanya Jawab
Kebijakan Ujian Nasional (UN)
Apa kebijakan baru tentang UN?
Jawab:
Mulai tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan
Survei Karakter. Kedua asesmen baru ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan
dan perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
Mengapa 2020 akan menjadi tahun terakhir bagi UN?
Jawab:
Pertama, UN lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi
berpikir tingkat rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang
ingin mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain
yang lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013.
Kedua, UN kurang mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif
untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti
UN akan dirancang memberi dorongan lebih kuat ke arah pengajaran yang inovatif
dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Ketiga, UN kurang optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan
secara nasional. Karena dilangsungkan di akhir jenjang, hasil UN tidak bisa
digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan memberi bantuan
yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Apa akan mengganti UN?
Jawab:
Asesmen kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah di berbagai konteks, baik personal maupun
profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang akan diukur masih
dikaji, namun contohnya adalah kompetensi bernalar tentang teks (literasi) dan
angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur aspek-aspek
lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini mencakup
aspek-aspek karakter siswa (seperti karakter pembelajar dan karakter gotong
royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku bullying, dan
kualitas pembelajaran).
Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan mutu, asesmen kompetensi
dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap tahun, dan
belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
Tanpa UN, bukankah siswa kurang termotivasi untuk belajar?
Jawab:
Menggunakan ancaman ujian untuk mendorong belajar akan berdampak negatif
pada karakter siswa. Jika dilakukan terus menerus, siswa justru akan menjadi
malas belajar jika tidak ada ujian. Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa
belajar sekedar untuk mendapat nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini
membuat siswa lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses
belajar itu sendiri. Padahal, motivasi belajar intrinsik inilah yang justru
sangat perlu dikembangkan agar siswa agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Tanpa UN, apakah siswa tidak menjadi orang yang kurang gigih?
Jawab:
UN adalah alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi mutu sistem
pendidikan. Fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan. Sifat-sifat
ini tidak dapat dibentuk secara instan di akhir jenjang pendidikan melalui
ancaman ketidaklulusan atau nilai buruk. Sifat seperti kegigihan hanya dapat
ditumbuhkan melalui proses belajar yang memberi berbagai tantangan bermakna
secara berkelanjutan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa membuat sifat
seperti kegigihan menjadi bagian dari karakter siswa.
Mengapa hanya difokuskan pada literasi dan numerasi?
Jawab:
Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan mendasar.
Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika diperlukan
dalam berbagai konteks, baik personal, sosial, maupun profesional. Dengan
mengukur kompetensi yang bersifat mendasar (bukan konten kurikulum atau
pelajaran), pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa guru diharapkan
berinovasi mengembangkan kompetensi siswa melalui berbagai pelajaran melalui
pengajaran yang berpusat pada siswa.
Apakah berarti pelajaran selain bahasa dan matematika tidak penting?
Jawab:
Fokus asesmen adalah kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak
sekedar mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan
Matematika saja. Literasi dan numerasi justru bisa dan seharusnya memang
dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran, termasuk IPA, IPS,
kewarganegaraan, agama, seni, dst. Pesan ini penting dipahami oleh guru,
sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko penyempitan kurikulum pada
pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
Jika apa yang diukur tidak terikat pada konten kurikulum, bagaimana kaitan
antara asesmen ini dengan standar pendidikan?
Jawab:
Betul bahwa asesmen ini tidak terikat secara erat dengan konten kurikulum.
Namun tidak berarti bahwa asesmen ini sama sekali terlepas dari kurikulum. Dari
sisi konten, asesmen literasi dan numerasi tentu memperhatikan apa yang
(seharusnya) diajarkan oelh guru pada tiap kelas dan jenjang pendidikan. Hanya
saja, asesmen ini tidak dimaksudkan untuk mengukur penguasaan siswa atas konten
kurikulum secara keseluruhan.
Pada prinsipnya, penguasaan kurikulum secara utuh hanya bisa dinilai oleh
guru menggunakan sumber informasi yang beragam dari interaksi sehari-hari
dengan siswa. Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda karena
masing-masing memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai
dengan visi dan karakteristik siswanya.
Siapa yang akan menjadi peserta asesmen pengganti UN?
Jawab:
Asesmen kompetensi baru akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan
jenjang sekolah, seperti kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11
untuk SMA. Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa
dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa. Dengan
dilakukan sejak jenjang SD, hasilnya dapat menjadi deteksi dini bagi
permasalahaan mutu pendidikan nasional.
Apakah perubahan ini berdampak pada siswa SD?
Jawab:
Perlu diketahui bahwa saat ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan
demikian, penghentian UN tidak berdampak pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan
pada poin sebelumnya, sebagian siswa SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru.
Namun asesmen baru ini dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi siswa.
Karena itu, asesmen baru tidak menjadi beban tambahan bagi siswa SD.
Tanpa UN, bagaimana mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan?
Jawab:
Perlu dipahami bahwa UN itu sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan
instrumen asesmen yang membantu menilai pencapaian sebagian standar nasional
pendidikan. Karena itu, menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar
pendidikan.
Sebagaimana disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang
memang dirancang sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen
pengganti UN tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional
pendidikan di tiap daerah.
Jika tidak terikat pada konten kurikulum, apakah asesmen ini akan menjadi
tambahan beban bagi siswa/guru di luar kurikulum yang ada?
Jawab:
Asesmen yang dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemendikbud) berpotensi
dipandang sebagai beban tambahan karena guru dan sekolah ingin memperoleh hasil
yang baik. Meski demikian, sebenarnya asesmen literasi dan numerasi ini bukan
beban tambahan. Yang diukur oleh asesmen ini bukanlah penguasaan konten
tambahan yang perlu diajarkan di luar kurikulum yang ada. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, kompetensi literasi dan numerasi bisa dan perlu
dikembangkan melalui semua mata pelajaran.
Jika digunakan untuk menilai efektivitas sekolah, apakah asesmen baru tidak
berdampak negatif pada siswa?
Jawab:
Harus diakui bahwa asesmen baru dapat dianggap bersifat high stakes bagi
guru dan sekolah. Jika itu terjadi, asesmen baru berpotensi memiliki dampak
negatif seperti mendorong adanya tekanan dari guru pada siswa untuk mendapat
skor tinggi, serta anggapan bahwa pelajaran yang dianggap tidak relevan untuk
asesmen ini kurang penting.
Dampak seperti ini akan dimitigasi melalui berbagai cara. Yang pertama
adalah rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan
sumberdaya sesuai kebutuhan sekolah, bukan hukuman dan hadiah. Kedua, akan
tersedia asesmen yang sama dalam versi yang dapat digunakan oleh guru sebagai
bagian dari pengajaran sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan
dilengkapi dengan petunjuk pedagogis dan sumberdaya belajar yang relevan untuk
mengembangkan kompetensi siswa sesuai levelnya.
Apa dampak asesmen baru bagi siswa?
Jawab:
Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang agar tidak memiliki
konsekuensi bagi siswa. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan
akhir jenjang) membuat hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai
pencapaian siswa. Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang
sekolah yang lebih tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi
beban tambahan bagi siswa, di luar beban belajar normal yang sudah dijalani.
Apa dampak asesmen pada guru dan sekolah?
Jawab:
Analisis dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat agar bisa
dimanfaatkan guru dan sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal
ini dimungkinkan karena asesmen baru akan didasarkan pada model learning
progression (lintasan belajar) yang akan menunjukkan posisi siswa dalam tahapan
perkembangan suatu kompetensi.
Laporan hasil asesmen juga akan dirancang agar tidak menjadi ancaman bagi
guru dan sekolah. Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian siswa
dipengaruhi oleh faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di
luar sekolah, seperti lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orangtua.
Karena itu keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai berdasarkan
level kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah akan lebih
didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen
sebelumnya.
Hasil asesmen justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan
sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – misalnya dalam bentuk alokasi
SDM dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
Apa dasar hukum penggantian UN dengan asesmen baru?
Jawab:
UU Sisdiknas secara eksplisit memberi mandat kepada pemerintah – melalui
lembaga mandiri – untuk melakukan evaluasi mutu sistem pendidikan nasional.
Asesmen pengganti UN akan menjadi instrumen untuk melayani fungsi tersebut.
Selain itu, pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung
(MA) pada 2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah
dan/atau daerah yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk
“meninjau kembali sistem pendidikan nasional”.
Dengan merancang asesmen baru yang berfungsi untuk pemetaan mutu serta umpan
balik bagi sekolah, tanpa ada konsekuensi pada siswa, pemerintah secara otomatis
telah mematuhi putusan hukum MA mengenai UN.