1.a.1.
Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi
Pernyataan
Menelusuri literasi masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang, melampaui peluncuran pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai global literacy effort. Menurut para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa literasi tulis-menulis di nusantara sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak kehadiran Hindu dan Budha serta tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang. Di masa Hindu dan Budha sudah dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di era Islam berkembang bahasa Arab dengan aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu. Bahkan berdasarkan penuturan beberapa arkeolog, literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa pra sejarah ribuan tahun yang lampau. Berdasarkan keterangan Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya. Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta, disebabkan hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015). Ditinjau dari perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya (Suprajogo, 2020).
Literasi pada mulanya
lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa
membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan
dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya, dimaksudkan literasi
adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini -plus kemampuan
menghitung- sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy).
Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
apatah lagi di era digital saat ini, maka konsep dan definisi serta pemaknaan
literasi kian kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam literasi dasar yang
diperkenalkan oleh World Economic Forum (WEF) hingga literasi untuk
kesejahteraan (functional literacy dalam istilah UNESCO di tahun 1965). Dari
pengertian literasi di tahun 1957, UNESCO menyebutkan bahwa seseorang dapat
disebut literat apabila bisa memahami, baik dengan membaca dan menulis sebuah
pernyataan sederhana yang singkat tentang kehidupannya sehari-hari hingga
literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan,
membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan materi cetak dan
tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2004, 2017). Bahkan
lebih jauh konsep literasi dalam perkembangannya adalah menekankan pada
pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang dapat menopang kehidupan sehari-hari dan meningkatkan
kesejahteraan. Literasi melibatkan suatu rangkaian kesatuan pembelajaran dalam
memampukan individu-individu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, mengembangkan
pengetahuan dan potensi mereka, serta berpartisipasi secara penuh di dalam
komunitas mereka dan masyarakat luas (UIS, UNESCO, 2018).
Berangkat dari variasi dan
perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi setidaknya dari yang
dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan bangsa
tertentu adalah rendah literasinya maka harus dibatasi dan disepakati terlebih
dahulu konsep, definisi dan makna literasi yang dimaksud. Penentuan
konsep, definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter,
variabel dan indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur
tingkat literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam
mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara
proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur
kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti disebutkan oleh Montoya
(2018) yaitu:
- Literasi adalah tentang penggunaan
yang mana masyarakat menjadikannya sebagai sarana berkomunikasi dan
berekspresi, melalui berbagai media;
- Literasi bersifat jamak, dipraktikkan
dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu dan menggunakan bahasa
tertentu;
- Literasi melibatkan kontinum
pembelajaran yang diukur pada tingkat kemahiran yang berbeda.
Soal
1
Ada pandangan yang
mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar, tumbuh dan berkembang
di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading literacy) utamanya
minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana menurut bapak dan ibu
mengenai hal ini?
Alternatif
Jawaban Soal 1
Kelisanan dan literasi
sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika sebuah
bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah
menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih
jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka
terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke
generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan
budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan
suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang
dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga
bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis)
(al Alusi, t.t.; 38-48) dan bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak
secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan lisan dan belum
mengembangkan -secara formal- kebiasaan membaca dan menulis dapat dijuluki
illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah kemampuan untuk membaca dan
menulis (ability to read and write), sehingga karenanya masyarakat yang
mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society, namun bukan
berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak literat.
Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan
harus dipandang secara komprehensif (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong,
2002). Cara pandang ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan
tradisi dan budaya lisan dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis)
pada konteks masyarakat dan sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul
pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan
karena adanya kebiasaan bertutur (orality). Jika ditinjau dari keterampilan
berbahasa (language skills), justru terdapat hubungan yang sangat erat antara
kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan membaca. Pengetahuan mendalam yang
menarik bagaimana murid-murid memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja
literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa
lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-71). Semakin kaya murid-murid
mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar,
kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan
keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok
konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson, 1985; 21-22).
Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam
kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid
mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa
paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98).
Dari berbagai penelitian
memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar
belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan bagi pembelajaran
membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi yang luas,
dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna
jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti
serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan aneka
peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya keaksaraan adalah
dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy. Emergent
literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan prasyarat
untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan saling
mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat dilakukan
melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita (Akhadiah,
1998; 33-35).
Di rumah, murid-murid
memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran dan perasaan serta
kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Mereka
mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral language). Banyak
murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita, bagaimana bertanya dan
menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit ataupun kadang-kadang
banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan awal pengetahuan
mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar tentang
dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang luas
semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke murid-murid
mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang
murid-murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk
menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai
pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata
murid-murid (Suprajogo, 2020).
Soal
2
Di masyarakat terdapat
tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca, menulis dan
berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan kecerdasan
literasi, mereka harus diajarkan calistung?
Alternatif
Jawaban Soal 2
Sebenarnya murid usia dini
yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya literasinya.
Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara yang
menyenangkan dan tidak dipaksa. Pandangan tentang murid usia dini harus
bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki sekolah dasar. Secara
formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung
(membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan bahwa murid
yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai kesulitan ketika memasuki
jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks
pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.
Pada beberapa sekolah
bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk sekolah dasar. Selain
itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian formatif
maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa membaca
dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK yang
mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan menggaransi
ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola
pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik
(calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk
mengabaikan berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering
dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan
pada idealisme pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan
murid (developmentally appropriate practice).
Mengikuti penumbuhan
budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis tidak
memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran langsung dan
formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan orang
dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan.
murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk
berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti
dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35)
Soal
3
Lazim di masyarakat bahwa
aktivitas belajar bagi murid-murid usia dini harus diterapkan secara formal dengan
instruksi yang terstruktur dan terprogram. Apabila di pendidikan murid usia
dini maupun taman murid-murid hanya melakukan aktivitas dengan bermain maka
dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak berliterasi. Apa tanggapan
bapak ibu perihal ini?
Alternatif
Jawaban Soal 3
Dunia murid usia dini (0-6
tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar murid usia dini adalah
dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita dengan sebutan dan
konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan seorang siswa
yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja, harus
menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu
bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu
guru di depan kelas. Padahal sebenarnya aktivitas murid adalah aktivitas
bermain. Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah
kebutuhan murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi
dipaksa, murid-murid pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu kegiatan
mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam dalam
keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).
Literasi seharusnya memang
berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi murid-murid.
Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan melalui kegiatan bermain.
Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain. murid-murid dapat
mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan mereka.
Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik, perkembangan emosional,
sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya. Dengan bermain,
murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis dan
berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.
Melalui bermain,
murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan yang sangat kaya.
Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari bahasa lisan
(spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian. Mulai dari
lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada di
sekitarnya dan di sekolah dasar. Di dalam keluarga dapat dilakukan secara
natural kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi.
Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain. Mulai bermain
tebak-tebakan kata, mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan
bercerita, menggambar dan mewarnai gambar diiringi dengan memaknai gambar
dengan mendengar komentar dari murid-murid, memanfaatkan kertas dan semacamnya
dengan beragam alat tulis sederhana untuk melakukan kegiatan mencorat-coret,
mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk mainan kartu dan
sebagainya.
Lingkungan literasi dalam
suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan menjadi pondasi penting
agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca menulis dan
berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan dari
aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung
digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman
pra-membaca yang menyenangkan. Tampak di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik
belajar yang kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan
melalui bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan
dipaksakan tanpa memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka,
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD,
konsentrasi pada aktivitas belajar formal tidak jarang mengabaikan kesempatan
murid didik untuk bermain guna menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan
dan kecakapan literasinya melalui beraneka ragam kegiatannya.
Bagi siswa-siswi SMP dan
SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka miliki untuk
mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan
mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para siswa
bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif.
Dari kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang menarik
perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling membacakan
buku, membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site, hingga
cerpen, novel, esai populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana
aktivitas literasi menjadi kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk
mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan mengekspresikan gagasan
positif, kreatif, dan inovatif remaja.
Soal
4
Benarkah definisi dan
konsep literasi hanya semata-mata kegiatan membaca aksara (huruf)?
Alternatif
Jawaban Soal 4
Secara etimologis,
literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang diartikan pada
awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang mengetahui
(aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf. Dalam istilah
Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf
alfabet. Di akhir abad 18, istilah literasi secara khusus diartikan berkenalan
dengan sastra. Pada tahun 1894, sebagai kata benda, literasi diartikan,
seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari konsep dan definisi literasi awal
ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman pandangan mengenai literasi.
Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika program literasi, yang
awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang dapat membaca
alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara dijadikan
alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa atau
kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat membaca aksara, kelompok
ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang dan harus
‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam perkembangannya,
literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang tidak dapat
dilepaskan dari konteks yang ada.
Literasi membaca pada
umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa aksara (huruf). Membaca
secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang dilakukan serta
digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui
bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca diartikan adalah suatu
proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis.
Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks tertulis atau
berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki
makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan berupa
aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi
hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis. Dilacak
dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan lukisan gua berupa coretan,
gambar, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh
orang-orang purba sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan
peristiwa. Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat
komunikasi antar manusia pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam
bentuk gambar, ilustrasi, material dari media massa seperti iklan, poster, infografis,
juga presentasi visual dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan peta maupun
objek bergerak (Dewayani, 2017, 11). Termasuk di dalam literasi membaca
tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana yang sudah lazim dilakukan
oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara terdahulu hingga masih
dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti membaca
bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku (orion)
dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa, pranoto
mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau tidak,
dan sebagainya.
Soal
5
Betulkah literasi hanya
diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada kaitannya dengan
aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?
Alternatif
Jawaban Soal 5
Miskonsepsi berikutnya
mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik dengan membaca, bukan
yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh pendapat yang
mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep literasi sesungguhnya
mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis (Whitehead,
1990; 172, Kennedy, 2012; 41). Keempatnya merupakan keterampilan ataupun seni
berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang lainnya saling
terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002; 278-279). Aktivitas
proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat keterampilan (seni)
berbahasa ini akan meningkatkan kemampuan berpikir, berkomunikasi dan belajar
seseorang.
Keempat keterampilan
berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Literasi dini ini
utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak kelahiran
seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi janin di
dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan Golant,
1985, Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan pengasuhan
1000 HPK (Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018). Secara umum,
pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian orangtua.
Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus (Dewayani dan
Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan literasi di rentang
waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara, mendengar,
mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi, membacakan
buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan (immersion)
mereka secara penuh dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy
environment).
Memakai konsep sesuai
dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada kegiatan pembelajaran
dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus mencerminkan kebutuhan
perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-linguistik (Otto,
2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid, terutama
cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya ditandai
dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan pengolahan
informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24). murid-murid usia
dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa penyempurnaan
selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana aktivitas membaca
ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun rata-rata orang muda
mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir abstraknya, remaja
dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan
istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar
akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang
menggunakan ironi, permainan kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih
terampil dalam menggunakan perspektif sosial yaitu kemampuan untuk
merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan sudut pandang orang lain
(Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27). Berbasis pada konsep,
tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan
perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi
penggunaan dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar,
berbicara, membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak
parsialistik dan dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam
strategi, metode, dan teknik menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di
dalam kurikulum, materi maupun media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada
format aktivitas membaca semata.
Apatah lagi di era digital
sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang banjir stimulasi
visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam
desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani,
2017; 43), perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan
permainan dan media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya. Literasi
kekinian tetap dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa
itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional.
Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan,
tuntutan dan gaya hidup serta perilaku remaja saat ini. Literasi tidak dapat
dipaksakan, apalagi pada remaja hanya dalam bentuk aktivitas membaca.
Oleh karenanya, media multimodal, media yang melibatkan dua atau lebih sistem
semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual, audiovisual, gestur dan
teks spasial, menjadi bagian penting dari kehidupan siswa. Sudah tepat,
buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi adalah
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui
berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau
berbicara (GLS, 2017).
Soal
6
Literasi adalah pelajaran
bahasa dan sastra. Karenanya apapun aktivitas yang disebut sebagai literasi
merupakan kewenangan, kompetensi dan tanggung jawab guru pelajaran bahasa dan
sastra.
Pertanyaan:
Apa tanggapan bapak dan
ibu tentang pernyataan tersebut di atas?
Alternatif
Jawaban Soal 6
Kebanyakan kita begitu
mendengar kata literasi, pastilah membayangkan dengan mata pelajaran bahasa dan
sastra. Jika dalam konteks Indonesia, berarti identik dengan bahasa dan sastra
Indonesia. Pandangan ini tidak dapat dipungkiri ada dalam kenyataan masyarakat
sehari-hari, bahkan di dunia pendidikan baik di sekolah dasar dan menengah
hingga perguruan tinggi. Persepsi kita tentang literasi biasanya diasosiasikan
dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan membaca buku, puisi, berpidato dan
semacamnya, mengarang cerita pendek (cerpen) dan novel, bercerita berupa
dongeng, hikayat, legenda dan sebagainya. Pendapat umum ada yang menyatakan
literasi adalah bahasa dan sastra, literasi itu bagian dari mata pelajaran dan
mata kuliah bahasa dan sastra, literasi itu ‘milik’ dan ranah ilmu linguistik.
Dalam praktik di sekolah, literasi merupakan kompetensi para guru bahasa dan
sastra Indonesia. Di perguruan tinggi, literasi adalah disiplin ilmu dosen
bahasa, sastra dan budaya. Guru dan dosen yang secara formal tidak
mempelajari bahasa dan sastra merasa tidak perlu mengetahui apalagi memahami,
menguasai dan terampil literasi. Dengan kata lain, masih muncul dan berkembang
luas anggapan bahwa literasi secara konsep maupun substansi, baik dalam teori
maupun praktik, tidak ada hubungan sama sekali dengan bidang-bidang yang
lainnya.
Sebenarnya jika literasi
disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat menggantikan istilah
‘pengetahuan’ (Dewayani, 2017; 11). Bahkan ternyata sejak tahun 1940, istilah
literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun keterampilan
di satu bidang tertentu, maka ada literasi komputer, literasi statistik,
literasi media, literasi sosial, literasi ekologis, literasi bencana, literasi
kesehatan (https://en.wikipedia.org/wiki/Literacy),
literasi parenting dan sebagainya, selain literasi baca tulis dan literasi
numerik sebagai literasi dasar (basic literacy).
Ada yang sangat menarik,
terkait mata pelajaran ilmu pasti yaitu matematika, misalnya. Hampir
sebagian besar siswa meyakini matematika sebagai mata pelajaran yang
sulit dan bahkan menjadi momok yang ‘menyeramkan’. Ternyata keterampilan
membaca yang kita kenal dan biasa dipraktikkan itu bisa sangat membantu dalam
memahami matematika. Kemampuan menarasikan matematika secara deskriptif,
menjelaskan rumus-rumus yang ada secara aplikatif dengan menggunakan
contoh-contoh berupa cerita yang sederhana dan menarik, mengoptimalkan
otak kanan, utamanya kecerdasan bahasa untuk mengerti dan memahami logika dan
penalaran yang terkandung di dalam matematika serta mengenali bahwa matematika
sebagai media kreatif. Dengan keterampilan narasi yang bisa dikembangkan dari
literasi bahasa baik berupa baca dan tulis tersebut, maka matematika menjadi
lebih mudah dan menyenangkan. Dari pola seperti ini, tentunya dapat diterapkan
di dalam mempelajari dan mengajarkan mata pelajaran ataupun mata kuliah yang
berbasis matematika dan sejenisnya di disiplin ilmu pengetahuan yang lain
maupun teknologi.
Catatan;
Terima kasih sudah
menuangkan jawaban dari pengalaman dan pengetahuan yang Bapak/Ibu miliki.
Untuk mengirimkan jawabannya silakan klik Finish kemudian klik tombol Submit all and finish.
Selanjutnya Bapak/Ibu dapat mencermati jawaban yang telah dikrimkan dan
membandingkan dengan kunci jawaban pada kolom yang tersedia.
Silakan refleksikan jawaban Bapak/Ibu apakah miskonsepsi atau tidak?
Sumber;
https://litnum01-gurubelajar.simpkb.id/mod/quiz/review.php?attempt=171880&cmid=322