BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa, “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara”. Jadi dapat dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana yang dilakukan melalui proses pembelajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia baik dalam aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotorik
Komponen pendidikan meliputi tujuan pendidikan, pendidik,
peserta didik, lingkungan pendidikan, dan media pendidikan yang menjadi satu
kesatuan fungsional yang saling berinteraksi, bergantung satu sama lain untuk
mencapai tujuan pendidikan, dimana salah satu caranya adalah melalui pendidikan
sekolah. Trianto (2013: 1) menyatakan bahwa, “Pendidikan yang mampu
menjawab tujuan nasional adalah pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang,
pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga yang
bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya
dan pendidikan yang mampu menyentuh potensi nurani maupun kompetensi peserta
didik”. Pendidikan sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam
mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang handal dalam pembangunan. Sampai saat ini, sekolah dianggap sebagai
lembaga pendidikan utama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan kualitas
sumber daya manusia dengan didukung oleh pendidikan keluarga dan masyarakat. Jadi, hasil pendidikan di sekolah sangat diharapkan dapat membantu peserta didik
dalam mempersiapkan kehidupannya. Untuk mendapatkan
hasil pendidikan terdapat bagian penting yaitu proses belajar mengajar, yang di
dalamnya terdapat guru sebagai pendidik dan pengajar, serta siswa sebagai peserta
didik yang sedang belajar. Belajar merupakan kegiatan pokok dalam keseluruhan
proses pembelajaran di sekolah.
IPA pada hakekatnya atas dasar produk
ilmiah, proses ilmiah dan sikap ilmiah. Proses pembelajaran IPA menekankan pada
proses sains yang dimiliki
peserta didik karena pada umumnya IPA dipahami sebagai ilmu yang
perkembangannya melewati langkah-langkah observasi, perumusan masalah,
penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan
kesimpulan, serta penemuan konsep dan teori. Maka penguasaan sains melalui pembelajaran secara teoritis sangat
ditentukan oleh kemampuan dan kreativitas peserta didik dalam menguasai proses
sains. Dalam pembelajaran sains, peserta didik dituntut aktif. Peserta didik
tidak hanya diam menerima secara teori yang diberikan oleh guru tanpa
mengetahui proses yang dilakukan dalam menemukan suatu konsep. (Prasetyo, 2011: 3).
Tujuan mempelajari IPA adalah memahami gejala–gejala alam dan
bukan hanya mempelajari benda dan energi saja. Mata
pelajaran IPA di sekolah-sekolah seringkali menjadi mata pelajaran yang
menakutkan bagi para peserta didik. Hal ini mungkin karena pada mata pelajaran IPA banyak
terdapat rumus-rumus maupun
konsep-konsep sains yang harus dipahami oleh peserta didik.
IPA merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk dapat mempelajari gejala dan peristiwa atau fenomena
alam dengan cara berdiskusi, melakukan penyelidikan, dan bekerja sama untuk menemukan
konsep, prinsip serta melatihkan keterampilan yang dimiliki yang dapat
memungkinkan peserta didik tumbuh mandiri. Penerapan kurikulum 2013 di semua jenjang pendidikan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pada
kurikulum ini, tidak lagi menggunakan pendekatan yang dalam pembelajarannya didominasi oleh guru (teacher centered),
tetapi guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai subjek didik, sehingga kurikulum ini menuntut diterapkannya pendekatan saintifik yang lebih berpusat pada peserta
didik (student centered). Dalam hal ini guru diharapkan mampu membawa peserta didik untuk aktif dan kritis dalam pembelajaran, baik
berupa belajar mandiri, belajar kelompok maupun belajar dengan melakukan
percobaan. Dengan melibatkan peserta
didik berperan dalam kegiatan
pembelajaran, berarti peserta didik dapat mengembangkan kapasitas belajar dan
potensi yang dimiliki peserta didik secara penuh, maka siswa dapat memperoleh
hasil belajar yang baik. Dalam hal ini menurut Slameto (2010: 2) ”Proses pembelajaran yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali
baik sifat maupun jenisnya agar memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan”.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) tahun 2011 menempatkan Indonesia di peringkat 40 dari
45 negara dalam hal kemampuan sains peserta
didik, karena hanya memperoleh skor 406 dari skor rata
rata dunia sebesar 500 (TIMSS, 2011: 40). Penelitian lain yang dilakukan oleh Programme for International Student
Assessment (PISA) tahun 2012 menempatkan Indonesia pada posisi ke 64 dari 65
negara, karena hanya memperoleh skor 382 dari skor rata rata dunia sebesar 500
(OECD, 2013: 5), yang dianalisis dalam hal kemampuan literasi sains peserta didik, seperti
mengidentifikasi masalah ilmiah, menggunakan fakta ilmiah, memahami sistem
kehidupan dan memahami penggunaan peralatan sains. Dari hasil penelitian yang
dipublikasikan oleh TIMMS dan PISA tersebut cukup dapat mencerminkan kondisi
sistem pendidikan yang terjadi di Indonesia yang masih jauh dari harapan,
khususnya dalam aspek pembelajaran IPA.
Media pembelajaran berperan sangat penting untuk
menunjang kesuksesan belajar peserta
didik. Salah satu media pembelajaran yang memegang
peranan penting dalam membantu peserta
didik untuk mencapai kompetensi inti dan kompetensi dasar adalah bahan
ajar (materi ajar). Bahan ajar yang digunakan sebaiknya tidak hanya menyajikan
materi secara instan sehingga tidak mampu mengantarkan peserta didik untuk
memahami dan menemukan konsep yang dipelajari. Bahan ajar yang
digunakan harus mampu mengantarkan peserta
didik untuk memahami dan menemukan konsep yang
dipelajari sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Salah satu jenis dari bahan
ajar adalah modul. (Depdiknas, 2008).
Menurut Hamdani
(2011: 219) Modul adalah salah satu bentuk bahan ajar berupa bahan cetakan. Sedangkan
menurut (Depdiknas, 2008), Modul merupakan suatu proses pembelajaran mengenai suatu
satuan bahasan tertentu yang disususn secara sistematis, operasional, dan
terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunanya
untuk para guru. Penggunaan model pembelajaran akan sangat efektif jika
didukung dengan bahan ajar (modul) yang sesuai dengan karakteristik model yang
digunakan.
Trianto (2013: 6) menjelaskan
bahwa “pentingnya
memahami konsep dalam proses belajar mengajar dapat
mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah”. Untuk itu yang
terpenting terjadi belajar yang bermakna dan tidak hanya seperti menuang air
dalam gelas pada peserta didik. Hal ini mengungkapkan bahwa, kompetensi guru dituntut, dalam arti guru harus mampu meramu wawasan
pembelajaran yang lebih menarik dan disukai oleh peserta didik terutama dalam
pembelajaran IPA.
Pembelajaran IPA adalah kegiatan yang
dilakukan untuk memfasilitasi, memperlengkap dan meningkatkan
intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Udin S.Winataputra (2007: 8). Pembelajaran IPA diharapkan peserta didik mampu menkonstruksi pengetahuan dibenak
mereka sendiri. Sehingga akan berdampak pada ingatan peserta
didik yang akan lebih lama
bertahan tentang apa yang akan dipelajari. Suatu konsep akan mudah dipahami dan
diingat oleh peserta didik jika konsep tersebut disajikan melalui
prosedur dan langkah-langkah yang tepat, jelas, dan menarik. Sebelum
melaksanakan proses belajar mengajar, guru harus mempunyai suatu persiapan
matang berupa model pembelajaran dan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik agar tujuan pembelajaran IPA dapat tercapai. IPA ditemukan melalui
pengamatan dan percobaan untuk menemukan suatu konsep.
Salah satu indikator keberhasilan
tujuan pembelajaran adalah hasil penilaian belajar. Hasil penilaian ini harus
mengungkap informasi dengan lengkap dan sesuai dengan data yang diperlukan
melalui instrumen penilaian yang tepat. Menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Amanah Ayu Pratama, Sudirman dan Nely Andriani di kelas VIII SMP Negeri 18
Palembang, menunjukkan masing-masing skor penilaian pada aspek keterampilan
proses, peserta didik dikategorikan dapat melatihkan keterampilan proses yang mereka
miliki dan mampu melakukan kegiatan pembelajaran dengan benar, hal ini
dibuktikan dengan skor yang diperoleh yakni skor rata-rata untuk merumuskan
masalah sebesar 3,55, merumuskan hipotesis sebesar 3,63, merancang percobaan
sebesar 3,52, melakukan percobaan sebesar 3,48, mengolah data percobaan sebesar
3,34, mengomunikasikan sebesar 3,33, dan menarik kesimpulan sebesar 3,57, namun
pada keterampilan menganalisis data percobaan skor yang diperoleh sebesar 3,22,
hal ini menunjukkan bahwa siswa masih kurang benar dalam menganalisis data
percobaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Friska Oktavia Rosa (2015) yang bertujuan untuk merancang dan menyusun modul pembelajaran IPA
berbasis keterampilan proses sains dan menguji efektivitas modul terhadap hasil
belajar dan motivasi peserta didik. Modul IPA yang dikembangkan menggunakan keterpaduan model connected
dan berbasis keterampilan proses sains, yang meliputi mengamati,
mengklarifikasi, mengkomunikasi, mengukur, memprediksi dan menyimpulkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar serta
peningkatan keterampilan proses sains peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
modul sangat membantu peserta didik belajar mandiri, membantu dan diperlukan peserta didik sebagai
panduan belajar dimana dilengkapi dengan eksperimen-eksperimen sederhana.
Pengembangan modul IPA berbasis KPS ini dinilai efektif karena selain hasil
belajar peserta didik yang meningkat, keterampilan proses sains dari peserta didik itu sendiri
mengalami peningkatan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh
Emi Rofifah, Nonoh Siti Aminah dan Elvin
Yusliana (2013) yang mengembangkan instrumen kemampuan
berpikir analitis yang termasuk dalam kategori kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Aspek kemampuan berpikir kritis terdiri dari 6 indikator yaitu peserta didik mampu
mengajukan pertanyaan, merevisi konsep yang salah, merencanakan strategi, mengevaluasi
keputusan, mengkritik suatu pernyataan, dan mampu mengevaluasi keputusan.
Pengamatan terhadap
proses pembelajaran IPA di SMP Negeri 1 Weru pada semester gasal tahun
pelajaran 2015/2016 masih cenderung teacher
centered sehingga peserta didik menjadi pasif.
Meskipun demikian, guru lebih suka menerapkan model tersebut, sebab SMP Negeri 1 Weru
dianggap sekolah pinggiran yang biasanya peserta didiknya cenderung pasif dan
input peserta didiknya mayoritas mempunyai kemampuan akademik yang biasa bahkan
cenderung rendah, sehingga pembelajaran lebih banyak guru menjelaskan materi
pelajaran yang ada pada buku ajar atau referensi lain. Buku ajar yang
digunakan dalam pembelajaran adalah buku IPA kurikulum 2013 yang diterbitkan
MGMP. Buku IPA kurikulum 2013 yang diterbitkan MGMP
masih kurang dalam mengembangkan indikator keterampilan proses sains antara
lain mengamati, mengelompokkan, menafsirkan, mengajukan pertanyaan,
menyimpulkan. Demikian juga untuk indikator merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, merancang percobaan dan menganalisis
data. Sedangkan untuk buku IPA kurikulum 2013 yang diterbitkan Depdiknas
sudah mengembangkan indikator keterampilan proses sains antara lain mengamati,
mengelompokkan, menafsirkan, mengajukan pertanyaan, menyimpulkan. Namun, belum
memberdayakan indikator merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang
percobaan dan menganalisis data.
Hasil
angket analisis kebutuhan guru menunjukkan bahwa: (1) guru mengalami kesulitan dalam membelajarkan
IPA secara terpadu sebanyak 100%; (1)
Persentase guru yang membutuhkan bahan ajar yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, bahan ajar yang berisi sintaks keterampilan proses
sains, dan bahan ajar yang memuat
proses, produk, sikap ilmiah adalah
100%; (3) Persentase guru yang membutuhkan bahan ajar
IPA Terpadu adalah 100%. Dari hasil
analisis kebutuhan guru memberi petunjuk bahwa dibutuhkan modul IPA Terpadu
berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis di sekolah.
Dari
pengamatan ulangan akhir semester gasal di SMP Negeri 1 Weru diperoleh hasil belajar
yang tergolong masih rendah, hal ini menunjukkan penguasaan
bahan ajar peserta didik juga masih
sangat rendah. KKM mata pelajaran IPA kelas VII SMP Negeri 1 Weru tahun
pelajaran 2015/2016 adalah 71. Data hasil tes ulangan akhir semester gasal peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Weru,
tahun pelajaran 2015-2016 dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. Hasil Tes Ulangan
Semester Gasal Peserta Didik Kelas VII
Tahun Pelajaran 2015/2016
No
|
Kelas
|
Jumlah Peserta Didik
|
Nilai Minimum
|
Nilai Maksimum
|
Nilai
Rata-rata
|
1
|
VII A
|
31
|
45
|
87
|
62
|
2
|
VII B
|
32
|
47
|
90
|
69
|
3
|
VII C
|
30
|
48
|
88
|
67
|
4
|
VII D
|
30
|
46
|
88
|
68
|
5
|
VII E
|
30
|
40
|
84
|
64
|
6
|
VII F
|
30
|
54
|
86
|
68
|
7
|
VII G
|
30
|
56
|
88
|
71
|
8
|
VII H
|
30
|
52
|
90
|
71
|
9
|
VII I
|
30
|
55
|
90
|
70
|
|
|
273
|
40
|
90
|
68
|
(Sumber :
Kurikulum SMP N 1 Weru, 2015)
Berdasarkan panduan
penilaian untuk SMP (Kemendikbud, 2015: 43) untuk predikat nilai dibagi menjadi
4 yaitu A = Sangat Baik = 86 – 100, B = Baik = 71 – 85, C = Cukup = 56 – 70 dan
D = Kurang = < 55 maka dapat diketahui bahwa hasil tes ulangan akhir
semester gasal kelas VII tahun pelajaran 2015/2016 tergolong rendah karena
rata-rata nilai kebanyakan berada pada predikat C.
Demikian pula untuk
hasil tes awal kemampuan berpikir kritis mengadopsi dari Poppy Kemala Devi yang
diberikan kepada peserta didik kelas VIIH diperoleh nilai untuk indikator kemampuan menganalisis 67,50, kemampuan mensintesis 63,33, kemampuan mengenal permasalahan dan pemecahannya 65,00, kemampuan
menginferensi 63,33, dan kemampuan mengevaluasi 65,83. Kelas VIIH dipilih untuk tes awal kemampuan
berpikir kritis, karena nilai rata-rata ulangan akhir semesternya termasuk
paling tinggi dengan nilai rata-rata ulangan akhir semester kelas VII secara
keseluruhan. KKM mata pelajaran IPA SMP Negeri Weru adalah 71. Dari hasil tes
awal kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VII dapat diambil kesimpulan
bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VII masih berada pada
predikat cukup (C).
Dari kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa SMP
Negeri 1 Weru kelas VII memerlukan bahan ajar sebagai sumber belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan hasil belajar peserta didik kelas VII. Penyiapan
dan penggunaan bahan ajar secara baik, menarik dan tepat untuk melatih
pengetahuan peserta didik dalam memecahkan masalah, pada akhirnya secara akumulatif kemampuan berpikir kritis
dan hasil belajar peserta didik dapat meningkat. Jadi
pembelajaran dengan menggunakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar peserta didik.
Berdasarkan hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs tahun pelajaran 2013/2014 menunjukkan
persentase penguasaan materi IPA pada
kemampuan uji menentukan jumlah kalor
yang diperlukan benda pada suatu pemanasan, SMP Negeri 1 Weru mendapatkan
rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM
IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan materi IPA
dengan Kemampuan uji: menentukan jumlah kalor yang diperlukan benda
pada suatu pemanasan (SMP Negeri 1 Weru: 45,80, kabupaten Sukoharjo: 61,35, Propinsi Jateng: 61,95, Nasional: 66,52), (Balitbang Kemdikbud, 2014). Sedangkan hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs tahun pelajaran 2014/2015 menunjukkan
persentase penguasaan materi IPA pada
kemampuan uji menentukan besaran kalor
jenis SMP Negeri 1 Weru mendapatkan rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase
penguasaan materi IPA dengan Kemampuan
uji: menentukan besaran kalor jenis (SMP
Negeri 1 Weru: 38,73, kabupaten Sukoharjo: 57,42, Propinsi Jateng: 56,64, Nasional: 62,05), (Balibang Kemdikbud, 2015). Dalam konten itu, masih diperlukannya buku penunjang pada materi seperti tersebut di atas
untuk meningkatkan pencapaian kompetensi peserta didik.
Pada kurikulum 2013
materi IPA sudah tersusun secara terstruktur dalam KI dan KD. Pada KD kelas VII
SMP semester 2 yaitu 3.7, 4.10 dan 4.11 menunjukkan adanya keterampilan proses
sains dan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam memahami konsep kalor. Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, memiliki kemampuan
berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan menganalisis, mensintesis, mengenal
permasalahan dan pemecahannya, menginferensi, dan mengevaluasi (Angelo, 1995: 6). Apabila peserta didik terbiasa
dengan berpikir kritis maka peserta
didik akan menyadari dan lebih memperhatikan tentang
pengetahuan, dan proses dalam pencapaian tujuan belajar, sehingga peserta didik akan
benar-benar memahami dan mengerti tentang materi pembelajaran. Kemampuan
berpikir kritis merupakan suatu tuntutan kebutuhan yang harus dimiliki peserta didik untuk
memecahkan masalah secara sistematis, inovatif, dan mendesain solusi yang
mendasar dalam menghadapi tantangan di masa depan, seperti yang tercantum pada
standar kompetensi lulusan SMP yakni memiliki (melalui mengamati, menanya,
mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang
efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2013: 33)
Berdasarkan uraian
diatas, maka dilakukan penelitian pengembangan dengan judul “Pengembangan Modul
IPA Berbasis Keterampilan Proses
Sains untuk
Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP pada Materi Kalor”.
B.
Perumusan Masalah
Dari uraian dan pemikiran
dalam latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
karakteristik modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor bagi
peserta didik SMP?
2.
Bagaimanakah
kelayakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor peserta didik SMP?
3.
Apakah
penggunaan modul IPA berbasis keterampilan proses sains dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP pada materi kalor?
C. Tujuan Pengembangan
Dari perumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan
pengembangan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui karakteristik modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor bagi peserta didik SMP.
2.
Untuk mengetahui kelayakan
modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor bagi peserta
didik SMP.
3.
Untuk mengetahui apakah
penggunaan modul IPA berbasis
keterampilan proses sains dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik SMP pada materi kalor.
D. Manfaat Pengembangan
Manfaat
penelitian pengembangan modul IPA berbasis keterampilan
proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta
didik SMP ini adalah:
1.
Secara
teoritis
a.
Dapat diperoleh
informasi mengenai prinsip-prinsip penyusunan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik pada materi kalor.
b.
Dapat
digunakan sebagai acuan penyusunan modul IPA pada materi yang lain.
2.
Secara
praktis
a.
Bagi Guru,
Sebagai bahan pertimbangan untuk memilih metode
pembelajaran yang sesuai dengan materi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta
didik pada mata pelajaran IPA SMP.
b.
Bagi peserta didik,
Memudahkan peserta
didik dalam mengerjakan soal IPA yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.
c.
Bagi peneliti,
1)
Mendapatkan
pengalaman dalam menyusun pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.
2)
Mendapatkan
pengalaman dalam menentukan kelayakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.
3)
Mendapatkan
pengalaman dalam mengimplementasikan penggunaan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk mengukur kemampuan
berpikir kritis peserta didik SMP.
E. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan
Penelitian pengembangan ini akan menghasilkan bahan ajar berupa
modul cetak. Modul yang dihasilkan adalah modul yang berkaitan dengan pembelajaran
IPA berbasis keterampilan proses sains untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan materi kalor bagi peserta didik kelas VII SMP Negeri I Weru. Spesifikasi produk yang
diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.
Modul Siswa
Modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik pada materi kalor, untuk
modul siswa memiliki sub bagian yaitu: Peta Isi Modul, Petunjuk Penggunaan, KI dan KD pada materi Kalor, Modul Berbasis Keterampilan Proses Sains, Pendalaman Materi, Info Sains, Contoh Soal, Evaluasi, Uji Kompetensi, Glosarium,
dan Daftar Pustaka.
2.
Modul Guru
Modul
IPA berbasis keterampilan
proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada materi
kalor,
untuk modul guru memiliki sub bagian yaitu: Peta Isi
Modul, Petunjuk Penggunaan, Pendahuluan,
KI dan KD
pada materi Kalor, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Modul Berbasis Keterampilan Proses Sains,
Pendalaman Materi, Info Sains, Contoh
Soal, Evaluasi, Uji Kompetensi, Glosarium, dan Daftar Pustaka. Pada
modul guru semua pertanyaan dan kegiatan peserta didik sudah ada jawabannya, bertujuan untuk
memberi pedoman atau petunjuk kepada
guru agar sesuai atau tidak menyimpang dengan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai.
F. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan
1.
Asumsi Pengembangan Modul
Pengembangan
modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dengan materi kalor disusun
dengan beberapa asumsi sebagai berikut:
a.
Modul berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor sesuai dengan kurikulum 2013.
b.
Peserta didik dapat melaksanakan sintaks sintaks keterampilan proses sains secara mandiri dengan fitur fitur modul atau
panduan yang disediakan modul.
c.
Dosen pembimbing, ahli media,
ahli materi, ahli bahasa memiliki pemahaman yang sama tentang standar modul
yang baik serta memiliki pengetahuan dalam bidang keilmuan IPA.
d.
Praktisi pendidikan (guru IPA)
mempunyai pemahaman yang sama tentang kualitas modul yang baik dan memiliki
pengetahuan dalam bidang pelajaran IPA.
2.
Keterbatasan Pengembangan Modul
Pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan materi kalor masih mempunyai beberapa keterbatasan sebagai berikut:
a.
Pembahasan pada modul ini
terbatas pada materi kalor.
b.
Modul hanya ditinjau oleh dosen
pembimbing, ahli media dan materi, ahli bahasa, guru IPA dan peer review untuk
memberi masukan.
c.
Kelayakan modul dinilai oleh
validator ahli materi, ahli bahasa, guru IPA, teman sejawat, dan peserta didik.
d.
Pengembangan modul ini terbatas
yaitu untuk
kelas VII
dengan program kurikulum 2013.
e.
Pengembangan modul ini
dilakukan pada SMP Negeri 1 Weru.
f.
Belum ada publikasi secara luas
tentang modul ini sehingga perlu penyempurnaan.
G. Definisi Istilah
Berdasarkan
uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil kata kunci dalam pengembangan produk
ini, yang terangkum dalam komposisi definisi istilah, adalah sebagai berikut:
1.
Modul
Modul merupakan
seperangkat bahan ajar yang disusun secara sistematis yang terdiri atas
kompetensi
inti, kompetensi dasar
dan indikator pada suatu mata pelajaran yang dirancang untuk mempermudah peserta didik dalam memahami materi pelajaran
yang dipelajarinya.
2.
Keterampilan
Proses Sains
Suatu pendekatan pembelajaran
yang melibatkan peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut
dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Proses pembelajaran keterampilan
proses sains meliputi mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengidentifikasi
variabel, melakukan percobaan, menganalisis data, membuat kesimpulan dan mengomunikasikan
3.
Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis merupakan sesuatu yang mempunyai makna yang harus dibangun pada diri peserta didik sehingga
menjadi suatu watak atau kepribadian yang terarah
dalam kehidupan memecahkan segala persoalan hidupnya. Kemampuan berpikir
kritis meliputi kemampuan
berpikir analisis, kemampuan
berpikir sintesis, kemampuan
berpikir memecahkan masalah, kemampuan
menyimpulkan,
dan kemampuan
mengevaluasi atau menilai.