Wednesday 13 April 2016

BAB I Pendahuluan



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa,  Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Jadi dapat dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan melalui proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik
Komponen pendidikan meliputi tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, lingkungan pendidikan, dan media pendidikan yang menjadi satu kesatuan fungsional yang saling berinteraksi, bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan, dimana salah satu caranya adalah melalui pendidikan sekolah. Trianto (2013: 1) menyatakan bahwa,Pendidikan yang mampu menjawab tujuan nasional adalah pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang, pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya dan pendidikan yang mampu menyentuh potensi nurani maupun kompetensi peserta didik. Pendidikan sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang handal dalam pembangunan. Sampai saat ini, sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan utama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan kualitas sumber daya manusia dengan didukung oleh pendidikan keluarga dan masyarakat. Jadi, hasil pendidikan di sekolah sangat diharapkan dapat membantu peserta didik dalam mempersiapkan kehidupannya. Untuk mendapatkan hasil pendidikan terdapat bagian penting yaitu proses belajar mengajar, yang di dalamnya terdapat guru sebagai pendidik dan pengajar, serta siswa sebagai peserta didik yang sedang belajar. Belajar merupakan kegiatan pokok dalam keseluruhan proses pembelajaran di sekolah.
IPA pada hakekatnya atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah dan sikap ilmiah. Proses pembelajaran IPA menekankan pada proses sains yang dimiliki peserta didik karena pada umumnya IPA dipahami sebagai ilmu yang perkembangannya melewati langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan konsep dan teori. Maka penguasaan sains melalui pembelajaran secara teoritis sangat ditentukan oleh kemampuan dan kreativitas peserta didik dalam menguasai proses sains. Dalam pembelajaran sains, peserta didik dituntut aktif. Peserta didik tidak hanya diam menerima secara teori yang diberikan oleh guru tanpa mengetahui proses yang dilakukan dalam menemukan suatu konsep.  (Prasetyo, 2011: 3).
Tujuan mempelajari IPA adalah memahami gejala–gejala alam dan bukan hanya mempelajari benda dan energi saja. Mata pelajaran IPA di sekolah-sekolah seringkali menjadi mata pelajaran yang menakutkan bagi para peserta didik. Hal ini mungkin  karena pada mata pelajaran IPA banyak terdapat  rumus-rumus maupun konsep-konsep sains yang harus dipahami oleh peserta didik.
IPA merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mempelajari gejala dan peristiwa atau fenomena alam dengan cara berdiskusi, melakukan penyelidikan, dan bekerja sama untuk menemukan konsep, prinsip serta melatihkan keterampilan yang dimiliki yang dapat memungkinkan peserta didik tumbuh mandiri. Penerapan kurikulum 2013 di semua jenjang pendidikan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pada kurikulum ini, tidak lagi menggunakan pendekatan yang dalam pembelajarannya didominasi oleh guru (teacher centered), tetapi guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai subjek didik, sehingga kurikulum ini menuntut diterapkannya pendekatan saintifik yang lebih berpusat pada peserta didik (student centered). Dalam hal ini guru diharapkan mampu membawa peserta didik untuk aktif dan kritis dalam pembelajaran, baik berupa belajar mandiri, belajar kelompok maupun belajar dengan melakukan percobaan. Dengan melibatkan peserta didik berperan dalam kegiatan pembelajaran, berarti peserta didik dapat mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimiliki peserta didik secara penuh, maka siswa dapat memperoleh hasil belajar yang baik. Dalam hal ini menurut Slameto (2010: 2) ”Proses pembelajaran yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya agar memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011 menempatkan Indonesia di peringkat 40 dari 45 negara dalam hal kemampuan sains peserta didik, karena hanya memperoleh skor 406 dari skor rata rata dunia sebesar 500 (TIMSS, 2011: 40). Penelitian lain yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 menempatkan Indonesia pada posisi ke 64 dari 65 negara, karena hanya memperoleh skor 382 dari skor rata rata dunia sebesar 500 (OECD, 2013: 5), yang dianalisis dalam hal kemampuan literasi sains peserta didik, seperti mengidentifikasi masalah ilmiah, menggunakan fakta ilmiah, memahami sistem kehidupan dan memahami penggunaan peralatan sains. Dari hasil penelitian yang dipublikasikan oleh TIMMS dan PISA tersebut cukup dapat mencerminkan kondisi sistem pendidikan yang terjadi di Indonesia yang masih jauh dari harapan, khususnya dalam aspek pembelajaran IPA.
Media pembelajaran berperan sangat penting untuk menunjang kesuksesan belajar peserta didik. Salah satu media pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu peserta didik untuk mencapai kompetensi inti dan kompetensi dasar adalah bahan ajar (materi ajar). Bahan ajar yang digunakan sebaiknya tidak hanya menyajikan materi secara instan sehingga tidak mampu mengantarkan peserta didik untuk memahami dan menemukan konsep yang dipelajari. Bahan ajar yang digunakan harus mampu mengantarkan peserta didik untuk memahami dan menemukan konsep yang dipelajari sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Salah satu jenis dari bahan ajar adalah modul. (Depdiknas, 2008).
 Menurut Hamdani (2011: 219) Modul adalah salah satu bentuk bahan ajar berupa bahan cetakan. Sedangkan menurut (Depdiknas, 2008), Modul merupakan suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disususn secara sistematis, operasional, dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunanya untuk para guru. Penggunaan model pembelajaran akan sangat efektif jika didukung dengan bahan ajar (modul) yang sesuai dengan karakteristik model yang digunakan.
Trianto (2013: 6) menjelaskan bahwa pentingnya memahami konsep dalam proses belajar mengajar dapat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah”. Untuk itu yang terpenting terjadi belajar yang bermakna dan tidak hanya seperti menuang air dalam gelas pada peserta didik. Hal ini mengungkapkan bahwa, kompetensi guru dituntut, dalam arti guru harus mampu meramu wawasan pembelajaran yang lebih menarik dan disukai oleh peserta didik terutama dalam pembelajaran IPA.
Pembelajaran IPA adalah kegiatan yang dilakukan untuk memfasilitasi, memperlengkap dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Udin S.Winataputra (2007: 8). Pembelajaran IPA diharapkan peserta didik mampu menkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Sehingga akan berdampak pada ingatan peserta didik yang akan lebih lama bertahan tentang apa yang akan dipelajari. Suatu konsep akan mudah dipahami dan diingat oleh peserta didik jika konsep tersebut disajikan melalui prosedur dan langkah-langkah yang tepat, jelas, dan menarik. Sebelum melaksanakan proses belajar mengajar, guru harus mempunyai suatu persiapan matang berupa model pembelajaran dan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik agar tujuan pembelajaran IPA dapat tercapai. IPA ditemukan melalui pengamatan dan percobaan untuk menemukan suatu konsep.
Salah satu indikator keberhasilan tujuan pembelajaran adalah hasil penilaian belajar. Hasil penilaian ini harus mengungkap informasi dengan lengkap dan sesuai dengan data yang diperlukan melalui instrumen penilaian yang tepat. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Amanah Ayu Pratama, Sudirman dan Nely Andriani di kelas VIII SMP Negeri 18 Palembang, menunjukkan masing-masing skor penilaian pada aspek keterampilan proses, peserta didik dikategorikan dapat melatihkan keterampilan proses yang mereka miliki dan mampu melakukan kegiatan pembelajaran dengan benar, hal ini dibuktikan dengan skor yang diperoleh yakni skor rata-rata untuk merumuskan masalah sebesar 3,55, merumuskan hipotesis sebesar 3,63, merancang percobaan sebesar 3,52, melakukan percobaan sebesar 3,48, mengolah data percobaan sebesar 3,34, mengomunikasikan sebesar 3,33, dan menarik kesimpulan sebesar 3,57, namun pada keterampilan menganalisis data percobaan skor yang diperoleh sebesar 3,22, hal ini menunjukkan bahwa siswa masih kurang benar dalam menganalisis data percobaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Friska Oktavia Rosa (2015) yang bertujuan untuk merancang dan menyusun modul pembelajaran IPA berbasis keterampilan proses sains dan menguji efektivitas modul terhadap hasil belajar dan motivasi peserta didik. Modul IPA yang dikembangkan menggunakan keterpaduan model connected dan berbasis keterampilan proses sains, yang meliputi mengamati, mengklarifikasi, mengkomunikasi, mengukur, memprediksi dan menyimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar serta peningkatan keterampilan proses sains peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul sangat membantu peserta didik belajar mandiri, membantu dan diperlukan peserta didik sebagai panduan belajar dimana dilengkapi dengan eksperimen-eksperimen sederhana. Pengembangan modul IPA berbasis KPS ini dinilai efektif karena selain hasil belajar peserta didik yang meningkat, keterampilan proses sains dari peserta didik itu sendiri mengalami peningkatan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Emi Rofifah, Nonoh Siti Aminah dan Elvin Yusliana (2013) yang mengembangkan instrumen kemampuan berpikir analitis yang termasuk dalam kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi. Aspek kemampuan berpikir kritis terdiri dari 6 indikator yaitu peserta didik mampu mengajukan pertanyaan, merevisi konsep yang salah, merencanakan strategi, mengevaluasi keputusan, mengkritik suatu pernyataan, dan mampu mengevaluasi keputusan. 
Pengamatan terhadap proses pembelajaran IPA di SMP Negeri 1 Weru pada semester gasal tahun pelajaran 2015/2016 masih cenderung teacher centered sehingga peserta didik menjadi pasif. Meskipun demikian, guru lebih suka menerapkan model tersebut, sebab SMP Negeri 1 Weru dianggap sekolah pinggiran yang biasanya peserta didiknya cenderung pasif dan input peserta didiknya mayoritas mempunyai kemampuan akademik yang biasa bahkan cenderung rendah, sehingga pembelajaran lebih banyak guru menjelaskan materi pelajaran yang ada pada buku ajar atau referensi lain. Buku ajar yang digunakan dalam pembelajaran adalah buku IPA kurikulum 2013 yang diterbitkan MGMP. Buku IPA kurikulum 2013 yang diterbitkan MGMP masih kurang dalam mengembangkan indikator keterampilan proses sains antara lain mengamati, mengelompokkan, menafsirkan, mengajukan pertanyaan, menyimpulkan. Demikian juga untuk indikator merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan dan menganalisis  data. Sedangkan untuk buku IPA kurikulum 2013 yang diterbitkan Depdiknas sudah mengembangkan indikator keterampilan proses sains antara lain mengamati, mengelompokkan, menafsirkan, mengajukan pertanyaan, menyimpulkan. Namun, belum memberdayakan indikator merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan dan menganalisis  data.
Hasil angket analisis kebutuhan guru menunjukkan bahwa:  (1) guru mengalami kesulitan dalam membelajarkan IPA secara terpadu sebanyak 100%; (1)  Persentase guru yang membutuhkan bahan ajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, bahan ajar yang berisi sintaks keterampilan proses sains,  dan bahan ajar yang memuat proses, produk, sikap ilmiah   adalah 100%;  (3)  Persentase guru yang membutuhkan bahan ajar IPA Terpadu adalah 100%.  Dari hasil analisis kebutuhan guru memberi petunjuk bahwa dibutuhkan modul IPA Terpadu berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis  di sekolah.
Dari pengamatan ulangan akhir semester gasal di SMP Negeri 1 Weru diperoleh hasil belajar yang tergolong masih rendah, hal ini menunjukkan penguasaan bahan ajar peserta didik juga masih sangat rendah. KKM mata pelajaran IPA kelas VII SMP Negeri 1 Weru tahun pelajaran 2015/2016 adalah 71. Data hasil tes ulangan akhir semester gasal peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Weru, tahun pelajaran 2015-2016 dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1. Hasil Tes Ulangan Semester Gasal Peserta Didik Kelas VII
      Tahun Pelajaran 2015/2016
No
Kelas
Jumlah Peserta Didik
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Nilai
Rata-rata
1
VII A
31
45
87
62
2
VII B
32
47
90
69
3
VII C
30
48
88
67
4
VII D
30
46
88
68
5
VII E
30
40
84
64
6
VII F
30
54
86
68
7
VII G
30
56
88
71
8
VII H
30
52
90
71
9
VII I
30
55
90
70


273
40
90
68
(Sumber : Kurikulum SMP N 1 Weru, 2015)

Berdasarkan panduan penilaian untuk SMP (Kemendikbud, 2015: 43) untuk predikat nilai dibagi menjadi 4 yaitu A = Sangat Baik = 86 – 100, B = Baik = 71 – 85, C = Cukup = 56 – 70 dan D = Kurang = < 55 maka dapat diketahui bahwa hasil tes ulangan akhir semester gasal kelas VII tahun pelajaran 2015/2016 tergolong rendah karena rata-rata nilai kebanyakan berada pada predikat C.
Demikian pula untuk hasil tes awal kemampuan berpikir kritis mengadopsi dari Poppy Kemala Devi yang diberikan kepada peserta didik kelas VIIH diperoleh nilai untuk indikator kemampuan menganalisis 67,50, kemampuan mensintesis 63,33, kemampuan mengenal permasalahan dan pemecahannya 65,00, kemampuan menginferensi 63,33, dan kemampuan mengevaluasi 65,83. Kelas VIIH dipilih untuk tes awal kemampuan berpikir kritis, karena nilai rata-rata ulangan akhir semesternya termasuk paling tinggi dengan nilai rata-rata ulangan akhir semester kelas VII secara keseluruhan. KKM mata pelajaran IPA SMP Negeri Weru adalah 71. Dari hasil tes awal kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VII dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VII masih berada pada predikat cukup (C).
Dari kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa SMP Negeri 1 Weru kelas VII memerlukan bahan ajar sebagai sumber belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar peserta didik kelas VII. Penyiapan dan penggunaan bahan ajar secara baik, menarik dan tepat untuk melatih pengetahuan peserta didik dalam memecahkan masalah, pada akhirnya secara akumulatif kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar peserta didik dapat meningkat. Jadi pembelajaran dengan menggunakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar peserta didik.
Berdasarkan  hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs  tahun pelajaran 2013/2014 menunjukkan persentase penguasaan materi  IPA pada kemampuan uji  menentukan jumlah kalor yang diperlukan benda pada suatu pemanasan, SMP Negeri 1 Weru  mendapatkan  rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan materi IPA dengan  Kemampuan uji:  menentukan jumlah kalor yang diperlukan benda pada suatu pemanasan (SMP Negeri 1 Weru: 45,80, kabupaten Sukoharjo: 61,35,  Propinsi Jateng: 61,95,  Nasional: 66,52),  (Balitbang Kemdikbud, 2014). Sedangkan  hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs  tahun pelajaran 2014/2015 menunjukkan persentase penguasaan materi  IPA pada kemampuan uji  menentukan besaran kalor jenis SMP Negeri 1 Weru  mendapatkan  rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan materi IPA dengan  Kemampuan uji:  menentukan besaran kalor jenis (SMP Negeri 1 Weru: 38,73, kabupaten Sukoharjo: 57,42,  Propinsi Jateng: 56,64,  Nasional: 62,05),  (Balibang Kemdikbud, 2015).  Dalam konten itu, masih diperlukannya buku  penunjang pada materi seperti tersebut di atas untuk meningkatkan pencapaian kompetensi peserta didik.
Pada kurikulum 2013 materi IPA sudah tersusun secara terstruktur dalam KI dan KD. Pada KD kelas VII SMP semester 2 yaitu 3.7, 4.10 dan 4.11 menunjukkan adanya keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam memahami konsep kalor. Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menginferensi, dan mengevaluasi (Angelo, 1995: 6). Apabila peserta didik terbiasa dengan berpikir kritis maka peserta didik akan menyadari dan lebih memperhatikan tentang pengetahuan, dan proses dalam pencapaian tujuan belajar, sehingga peserta didik akan benar-benar memahami dan mengerti tentang materi pembelajaran. Kemampuan berpikir kritis merupakan suatu tuntutan kebutuhan yang harus dimiliki peserta didik untuk memecahkan masalah secara sistematis, inovatif, dan mendesain solusi yang mendasar dalam menghadapi tantangan di masa depan, seperti yang tercantum pada standar kompetensi lulusan SMP yakni memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013: 33)
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian pengembangan dengan judul “Pengembangan Modul IPA Berbasis Keterampilan Proses Sains untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP pada Materi Kalor”.

B.       Perumusan Masalah
Dari uraian dan pemikiran dalam latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.        Bagaimanakah karakteristik modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor bagi peserta didik SMP?  
2.        Bagaimanakah kelayakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor peserta didik SMP?
3.        Apakah penggunaan modul IPA berbasis keterampilan proses sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP pada materi kalor?

C.      Tujuan Pengembangan

Dari perumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan pengembangan dari penelitian ini adalah:
1.        Untuk mengetahui karakteristik modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor bagi peserta didik SMP.
2.        Untuk mengetahui kelayakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor bagi peserta didik SMP.
3.        Untuk mengetahui apakah penggunaan modul IPA berbasis keterampilan proses sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP pada materi kalor.

D.      Manfaat Pengembangan

Manfaat penelitian pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP ini adalah:
1.        Secara teoritis
a.         Dapat diperoleh informasi mengenai prinsip-prinsip penyusunan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada materi kalor.
b.        Dapat digunakan sebagai acuan penyusunan modul IPA pada materi yang lain.
2.        Secara praktis
a.         Bagi Guru,
Sebagai bahan pertimbangan untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada mata pelajaran IPA SMP.
b.        Bagi peserta didik,
Memudahkan peserta didik dalam mengerjakan soal IPA yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.
c.         Bagi peneliti,
1)      Mendapatkan pengalaman dalam menyusun pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.
2)      Mendapatkan pengalaman dalam menentukan kelayakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.
3)      Mendapatkan pengalaman dalam mengimplementasikan penggunaan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik SMP.

E.       Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Penelitian pengembangan ini akan menghasilkan bahan ajar berupa modul cetak. Modul yang dihasilkan adalah modul yang berkaitan dengan pembelajaran IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan materi kalor bagi peserta didik kelas VII SMP Negeri I Weru. Spesifikasi produk yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.    Modul Siswa
     Modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada materi kalor, untuk modul siswa memiliki sub bagian yaitu: Peta Isi Modul,  Petunjuk Penggunaan, KI dan KD pada materi Kalor, Modul Berbasis Keterampilan Proses Sains, Pendalaman Materi, Info Sains, Contoh  Soal, Evaluasi, Uji Kompetensi, Glosarium, dan Daftar Pustaka.
2.    Modul Guru
     Modul  IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada materi kalor,  untuk  modul guru  memiliki sub bagian yaitu: Peta Isi Modul,  Petunjuk Penggunaan, Pendahuluan, KI dan KD pada materi Kalor, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Modul Berbasis Keterampilan Proses Sains, Pendalaman Materi, Info Sains, Contoh  Soal, Evaluasi, Uji Kompetensi, Glosarium, dan Daftar Pustaka. Pada modul guru semua pertanyaan dan kegiatan peserta didik sudah ada jawabannya, bertujuan untuk memberi pedoman atau petunjuk kepada  guru agar sesuai atau tidak menyimpang dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

F.       Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

1.         Asumsi Pengembangan Modul
 Pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan materi kalor disusun dengan beberapa asumsi sebagai berikut:
a.         Modul berbasis keterampilan proses sains pada materi kalor sesuai dengan kurikulum 2013.
b.        Peserta didik dapat melaksanakan sintaks sintaks keterampilan proses sains secara mandiri dengan fitur fitur modul atau panduan yang disediakan modul.
c.         Dosen pembimbing, ahli media, ahli materi, ahli bahasa memiliki pemahaman yang sama tentang standar modul yang baik serta memiliki pengetahuan dalam bidang keilmuan IPA.
d.        Praktisi pendidikan (guru IPA) mempunyai pemahaman yang sama tentang kualitas modul yang baik dan memiliki pengetahuan dalam bidang pelajaran IPA.
2.      Keterbatasan  Pengembangan Modul
Pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan materi kalor masih mempunyai beberapa keterbatasan sebagai berikut:
a.       Pembahasan pada modul ini terbatas pada materi kalor.
b.      Modul hanya ditinjau oleh dosen pembimbing, ahli media dan materi, ahli bahasa, guru IPA dan peer review untuk memberi masukan.
c.       Kelayakan modul dinilai oleh validator ahli materi, ahli bahasa, guru IPA, teman sejawat, dan peserta didik.
d.      Pengembangan modul ini terbatas yaitu untuk kelas VII dengan program kurikulum 2013.
e.       Pengembangan modul ini dilakukan pada SMP Negeri 1 Weru.
f.       Belum ada publikasi secara luas tentang modul ini sehingga perlu penyempurnaan.


G.      Definisi Istilah
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil kata kunci dalam pengembangan produk ini, yang terangkum dalam komposisi definisi istilah, adalah sebagai berikut:
1.         Modul
Modul merupakan seperangkat bahan ajar yang disusun secara sistematis yang terdiri atas kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator pada suatu mata pelajaran yang dirancang untuk mempermudah peserta didik dalam memahami materi pelajaran yang dipelajarinya.
2.         Keterampilan Proses Sains
Suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Proses pembelajaran keterampilan proses sains meliputi mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, melakukan percobaan,  menganalisis data, membuat kesimpulan dan mengomunikasikan
3.        Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis merupakan sesuatu yang mempunyai makna yang harus dibangun pada diri peserta didik sehingga menjadi suatu watak atau kepribadian yang terarah dalam kehidupan memecahkan segala persoalan hidupnya. Kemampuan berpikir kritis meliputi kemampuan berpikir analisis, kemampuan berpikir sintesis, kemampuan berpikir memecahkan masalah, kemampuan menyimpulkan, dan kemampuan  mengevaluasi atau menilai.




 

Pengembangan Kompetensi Fitur Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah di Platform Merdeka Mengajar

  Pada tanggal 19 Desember 2023 GTK Kemdikbudristek telah merilis Fitur Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah di Platform Merdeka Meng...