BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1.
Ilmu IPA
a.
Definisi Ilmu IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai
pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen,
pengamatan, dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah
gejala yang dapat dipercaya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013: 212).
Hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu:
1)
Sikap yakni
rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan
sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui
prosedur yang benar; IPA bersifat open ended.
2)
Proses
yakni prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi
penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi,
pengukuran, dan penarikan kesimpulan.
3)
Produk
yakni berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.
4)
Aplikasi
yakni penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang
sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam proses pembelajaran IPA
keempat unsur itu diharapkan dapat muncul, sehingga peserta didik dapat
mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui
kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja
dalam menemukan fakta baru.
Kurikulum
IPA tahun 2013 dinyatakan bahwa “Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara
inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan
berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek
penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SMP/MTs menekankan
pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan
pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah” (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2013: 213).
b.
Karakteristik Mata Pelajaran IPA
Ilmu Pengatahuan
Alam (sains) dapat ditinjau dan dipahami melalui hakikat sains. Beberapa
saintis mencoba mendefinisikan sains sebagai berikut. Menurut Conant (1955), sains adalah bangunan
atau deretan konsep dan skema konseptual (conceptual
schemes) yang saling berhubungan sebagai hasil dari eksperimentasi dan
observasi, yang berguna dan bernilai untuk eksperimentasi serta observasi
selanjutnya. Menurut Bube dalam (Sumaji dkk, 1998: 161), sains adalah
pengetahuan tentang alam yang diperoleh melalui interaksi dengannya, sedangkan
menurut Dawson dalam Sumaji (dkk, 1998: 161), sains adalah aktivitas pemecahan
masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di
sekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengolahnya demi
memenuhi kebutuhan.
Dua aspek yang
penting dari sains menurut definisi-definisi tersebut adalah proses sains dan
produk sains. Proses sains menurut Sund adalah eksperimen yang meliputi
penemuan masalah dan perumusannya, perumusan hipotesis, merancang percobaan,
melakukan pengukuran, manganalisis data, dan menarik kesimpulan, sementara
produk sains menurut Dawson berupa bangunan sistematis pengetahuan (body of knowledge) sebagai hasil dari
proses yang dilakukan oleh para saintis (Sumaji dkk, 1998: 161). Oleh karena
itu, kedua hal tersebut perlu dijadikan pertimbangan oleh guru dalam memilih
strategi mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan
agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan efektif dan efisien..
c.
Pembelajaran IPA
Belajar pada
dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
Perubahan tingkah laku menurut Witherington meliputi perubahan keterampilan,
kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi. Sedangkan yang
dimaksud dengan pengalaman dalam proses belajar tidak lain adalah interaksi
antara individu dengan lingkungannya (Nana Sudjana, 1989: 5-6). Jadi,
belajar tidak hanya meliputi perolehan ilmu pengetahuan, tetapi juga pengalaman
dalam belajar. Bila terjadi proses belajar, maka bersama dengan itu terjadi
pula proses mengajar. Menurut Oemar Hamalik (2003: 58), mengajar adalah
aktivitas mengorganisasikan atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya sehingga
menciptakan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses belajar secara efektif.
Usaha menciptakan belajar tersebut menjadi tanggung jawab guru.
Orlich (Sumaji
dkk, 1998: 117), berpendapat suatu ciri pendidikan sains adalah bahwa sains
lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. Menurut Sund &
Trowbridge, sains merupakan kumpulan pengetahuan dan juga kumpulan proses. Di
dalam belajar, selain untuk memperoleh ilmu pengetahuan, siswa juga belajar
memecahkan masalah dengan cara yang tepat.
Berdasarkan
uraian di atas, pembelajaran IPA merupakan serangkaian kegiatan belajar mengajar yang melibatkan
guru IPA
sebagai pengajar dan siswa sebagai peserta didik yang menuntut adanya perubahan
dalam hal keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman, dan
apresiasi, agar proses itu dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Dan
karena para siswa dituntut untuk menguasai konsep-konsep IPA serta keterkaitannya,
para guru IPA harus mempertimbangkan strategi pembelajaran yang sesuai untuk
menunjang proses belajar mengajar tersebut.
Ilmu Pegetahuan Alam (IPA) atau sains dalam
arti sempit sebagai disiplin dari physical sciences dan life sciences.
IPA melatih anak berpikir kritis dan objektif. Pengetahuan yang benar artinya
pengetahuan yang dibenarkan menurut tolak ukur kebenaran ilmu, yaitu rasional
dan objektif. Rasional artinya masuk akal atau logis, dapat diterima oleh akal
sehat. Obyekti artinya sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataan atau
sesuai dengan pengalaman pengamatan melalui panca indera (Usman Samantowa,
2011: 4).
Fogarty (Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas 2007: 8), dalam arti luas pembelajaran terpadu meliputi pembelajaran
yang terpadu dalam satu disiplin ilmu, terpadu antarmata pelajaran, serta
terpadu dalam dan lintas peserta didik. Pembelajaran terpadu akan memberikan
pengalaman yang bermakna bagi peserta didik, karena dalam pembelajaran terpadu
peserta didik akan memahami konsep-konsep yang dipelajari melalui pengalaman
langsung dan menghubungkannya dengan konsep-konsep lain yang sudah dipahami
yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Menurut Fogarty terdapat sepuluh
cara atau model dalam merencanakan pembelajaran terpadu. Kesepuluh cara atau
model tersebut adalah: (1) model penggalan (fragmented), (2) model
keterhubungan (connected), (3) model sarang
(nested), (4) model urutan/rangkain (sequenced), (5) model bagian
(shared), (6) model jaring laba-laba (webbed), (7) model galur/benang (threaded), (8) model keterpaduan (integrated), (9) model celupan/terbenam
(immersed), dan (10) model jaringan (networked).
Dari kesepuluh
model pembelajaran terpadu Fogarty (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas 2007:
8), tiga diantaranya sesuai untuk dikembangkan dalam pembelajaran IPA sesuai
dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Ketiga model yang dimaksud adalah
model keterhubungan (connected), model jaring laba-laba (webbed),
dan model keterpaduan (integrated). Perbandingan deskripsi karakter,
kelebihan dan keterbatasan ketiga model tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbandingan Diagram dan
Deskripsi Tiga Model Pembelajaran Terpadu (Pusat
Kurikulum)
Model
|
Karakteristik
|
Kelebihan
|
Keterbatasan
|
Keterpaduan
(integrated)
|
Dimulai dengan identifikasi konsep, keterampilan,
sikap
yang overlap pada beberapa disiplin ilmu
atau beberapa
bidang studi. Tema
berfungsi sebagai konteks pembelajaran.
Membelajarkan konsep pada beberapa KD yang beririsan
atau
tumpang tindih , hanya konsep yang beririsan yang
dibelajarkan.
|
Hubungan antar bidang studi jelas
terlihat melalui kegiatan belajar. Pemahaman terhadap konsep lebih
utuh, (holistik), lebih efisien, sangat
Kontekstual
|
Fokus terhadap
kegiatan belajar,
mengabaikan target penguasaan konsep.
Menurut wawasan yang luas dari guru
KD-KD yang konsepnya beririsan
tidak selalu dalam semester atau kelas
yang sama
Menuntut wawasan
dan penguasaan
materi yang luas
sarana prasarana, misalnya
buku belum mendukung
|
Jaring laba-laba
(Webbed)
|
Menentukan tema yang dikembangkan subtemanya dengan memperhatikan kaitannya dengan disiplin ilmu
atau bidang studi lain.
Membelajarkan beberapa KD yang
berkaitan melalui sebuah tema
|
Tema yang familiar membuat
motivasi belajar dan memberikan
Pengalaman berpikir serta bekerja interdisipliner.
Pemahaman
terhadap konsep utuh kontekstual
dapat dipilih
tema-tema menarik yang
dekat dengan kehidupan
|
Sulit menemukan
Tema KD-KD yang konsepnya berkaitan tidak selalu dalam semester atau kelas
yang sama. Tidak mudah menemukan tema pengait yang tepat.
|
Keterhubungan
(connected)
|
Membelajarkan sebuah KD, konsep-konsep
pada KD tersebut dipertautkan dengan konsep pada KD
yang lain
|
Melihat permasalahan tidak
hanya dari satu bidang kajian. Pembelajaran
dapat mengikuti
KD-KD dalam SK
|
Kaitan antara bidang kajian sudah tampak tetapi
masih didominasi oleh bidang kajian tertentu
|
(Sumber: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas 2007: 8)
Penelitian dengan modul IPA berbasis keterampilan
proses sains menggunakan pembelajaran terpadu model connected.
Pembelajaran terpadu model connected mempunyai karakteristik menghubungkan satu konsep dengan konsep,
topik, keterampilan, ide yang lain tetapi masih dalam lingkup satu bidang.
Peserta didik akan lebih mudah menemukan keterkaitan karena masih dalam lingkup
satu bidang studi.
Model keterpaduan yang dipilih adalah model connected,
ada sejumlah konsep yang saling
bertautan dalam satu KD. Agar pembelajarannya menghasilkan kompetensi yang
utuh, maka konsep-konsep itu saling dipertautkan (connected) dalam pembelajarannya. Pada model connected ini konsep pokok menjadi
materi pembelajaran inti, sedangkan contoh dan terapan konsep yang dikaitkan
berfungsi untuk memperkaya (Kemendikbud,
2013: 174). KD-KD dalam penelitian ini adalah KD 3.7.
Memahami
konsep suhu, pemuaian, kalor, perpindahan kalor, dan penerapannya dalam
mekanisme menjaga kestabilan suhu tubuh pada manusia dan hewan serta dalam
kehidupan sehari-hari, KD 4.10. Melakukan percobaan untuk menyelidiki suhu dan
perubahannya serta pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud
benda dan KD 4.11. Melakukan penyelidikan terhadap cara berisi penambahan kalor
secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Kalor menjadi materi pembelajaran inti, sedangkan konsep yang dikaitkan
adalah perpindahan kalor. Model connected pada materi kalor dalam penelitian ini tampak
pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Model Connected Materi Kalor
2.
Modul
a.
Pengertian Modul
Sebuah modul harus dapat dijadikan bahan ajar sebagai
pengganti fungsi pendidik. Menurut Ridwan (2013: 183) Modul adalah suatu
proses pembelajaran mandiri mengenai suatu satuan bahasan tertentu dengan
menggunakan bahan ajar yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah
untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk
para guru.
Hamdani (2011: 219) Modul adalah salah satu bentuk bahan ajar
berupa bahan cetakan. Modul pembelajaran biasanya digunakan dalam perkuliahan
pada perguruan tinggi dengan pembelajaran jarak jauh, (bukan
tatap muka). Ada beberapa pengertian tentang modul antara lain sebagai berikut:
1)
Modul adalah alat atau sarana
pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan materi pembelajaran,
petunjuk kegiatan belajar, latihan dan cara mengevaluasi yang dirancang secara
sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dan dapat
digunakan secara mandiri.
2)
Modul adalah alat pembelajaran
yang disusun sesuai dengan kebutuhan belajar pada mata kuliah tertentu untuk
keperluan proses pembelajaran tertentu, sebuah kompetensi atau sub kompetensi
yang dikemas dalam satu modul secara utuh (self
contained) mampu membelajarkan diri sendiri atau dapat digunakan untuk
belajar secara mandiri (self
instructional). Penggunaan modul tidak bergantung pada media lain,
memberikan kesempatan mahasiswa untuk berlatih dan memberikan rangkuman,
memberikan kesempatan melakukan tes sendiri (self
test) dan mengakomodasikan kesulitan mahasiswa dengan memberikan tindak
lanjut dan umpan balik.
Dari kedua pendapat tentang modul diatas, kita dapat
menyimpulkan bahwa modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau
cetak yang disusun secara sistematis memuat materi pembelajaran, metode, tujuan
pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar atau indikator pencapaian kompetensi,
petunjuk kegiatan belajar mandiri (self instructional) dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menguji diri sendiri melalui latihan yang
disajikan dalam modul tersebut.
b.
Tujuan dan Manfaat Penyusunan Modul
Salah satu tujuan penyusunan modul adalah menyediakan
bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan
kebutuhan peserta didik, yakni bahan ajar sesuai dengan karakteristik materi ajar dan
karakteristik peserta didik, serta setting atau latar belakang lingkungan
sosialnya.
Hamdani (2011: 220) Modul memiliki manfaat, baik ditinjau dari kepentingan peserta didik maupun dari
kepentingan guru. Bagi peserta didik, modul bermanfaat, antara lain: 1) Peserta didik memiliki kesempatan melatih diri
belajar secara mandiri, 2) Belajar menjadi lebih menarik karena dapat
dipelajari di luar kelas dan di luar jam pembelajaran, 3) Berkesempatan
mengekpresikan cara-cara belajar sesuai dengan kemampuan dan minatnya, 4)
Berkesempatan menguji kemampuan diri sendiri dengan mengerjakan latihan yang
disajikan dalam modul, 5) Mampu membelajarkan diri sendiri, dan 6)
Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar
lainnya. Sedangkan Bagi guru, penyusunan modul bermanfaat karena: 1) Mengurangi
kebergantungan terhadap ketersediaan buku teks, 2) Memperluas wawasan karena
disusun dengan menggunakan berbagai referensi, 3) Menambah khasanah pengetahuan
dan pengalaman dalam menulis bahan ajar, 4) Membangun komunikasi yang efektif
antara dirinya dan peserta didik karena pembelajaran tidak harus berjalan secara tatap muka, dan 5)
Manambah angka kredit jika dikumpulkan menjadi buku dan diterbitkan.
c.
Prinsip-prinsip Penyusunan Modul Pembelajaran IPA
Hamdani (2011: 221) sebagaimana bahan ajar yang lain, penyusunan
modul hendaknya memerhatikan berbagai prinsip yang membuat modul tersebut dapat
memenuhi tujuan penyusunanya. Prinsip yang harus dikembangkan antara lain:
1)
Disusun dari materi yang mudah
untuk memahami yang lebih sulit, dan dari yang konkret untuk memahami yang
semikonkret dan abstrak,
2)
Menekankan pengulangan untuk
memperkuat pemahaman,
3)
Umpan balik yang positif akan
memberikan penguatan terhadap peserta
didik,
4)
Memotivasi adalah salah satu
upaya yang dapat menentukan keberhasilan belajar, dan
5)
Latihan dan tugas untuk
menguji diri sendiri.
d.
Karakteristik Modul Pembelajaran IPA
Model pembelajaran pasti memiliki suatu karakteristik tertentu yang diperlukan dalam menyusun modul.
Hal ini sesuai dengan Daryanto (2013: 9) yang menyatakan bahwa karakteristik yang
diperlukan dalam menyusun modul adalah Belajar mandiri (Self
Instruction) yaitu adanya
modul peserta didik dapat belajar dengan mandiri tanpa tergantung pada guru , Utuh (Self
Contained) yang berarti keseluruhan materi yang utuh terdapat dalam satu
modul, yaitu dari satu unit kompetensi. Sehingga materi pembelajaran dapat
dipahami secara tuntas, Berdiri sendiri (Stand Alone) yang berarti modul dikembangkan tidak bergantung dengan media
pembelajaran yang lain sehingga hanya dengan menggunakan modul peserta didik dapat
memahami materi dengan tuntas, Dapat disesuaikan (Adaptif) yaitu pengembangan modul hendaknya dapat
mengikuti dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta fleksibel digunakan dan
Bersahabat/akrab (User friendly) yaitu
pembuatan modul hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana, istilah umum dan
mudah dimengerti sehingga memudahkan pembaca dalam memakainya.
e.
Komponen-komponen Penyusun Modul
Komponen-komponen utama penyusun modul (Vembriarto,
1985: 27) sebagai berikut:
1) Tinjauan mata pelajaran
Tinjauan mata pelajaran adalah paparan umum mengenai
keseluruhan pokok-pokok isi mata pelajaran yang mencakup: a. deskripsi mata
pelajaran, b. kegunaan mata pelajaran, c. kompetensi dasar, d. bahan pendukung
lainnya seperti DVD, kaset, dll, dan e. petunjuk belajar
2) Pendahuluan
Pendahuluan suatu modul merupakan pembukaan pembelajaran
suatu modul. Dalam pendahuluan, akan memuat hal-hal sebagai berikut: a. cakupan
isi modul, b. indikator yang ingin dicapai, c. deskripsi perilaku awal, d. relevansi,
e. urutan butir sajian modul, dan f. petunjuk belajar berisi panduan modul
tersebut.
3) Kegiatan belajar
Merupakan inti dalam pemaparan materi pelajaran. Di dalam kegiatan
belajar terdapat uraian atau penjelasan secara rinci tentang isi pelajaran yang
diikuti dengan contoh-contoh kongkrit.
4) Latihan
Latihan adalah berbagai bentuk kegiatan belajar yang
harus dilakukan oleh peserta didik setelah membaca uraian sebelumnya. Tujuan latihan ini agar peserta didik benar-benar
belajar secara aktif dan akhirnya menguasai konsep yang sedang dibahas dalam
kegiatan belajar.
5) Rambu-rambu jawaban latihan
Merupakan hal-hal yang harus diperhatikan oleh peserta didik dalam
mengerjakan soal-soal latihan. Kegunaan rambu-rambu jawaban ini adalah untuk mengarahkan
pemahaman peserta didik tentang jawaan yang diharapkan dari pertanyaan atau tugas dalam
latihan untuk mendukung tercapainya kompetensi pembelajaran.
6) Rangkuman
Merupakan inti dari uraian materi yang disajikan pada
kegiatan belajar dari suatu modul, yang berfungsi menyimpulkan dan memantapkan
pengalaman belajar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya konsep atau skema baru
dalam pikian peserta didik.
7) Tes formatif
Pada setiap modul selalu disertai lembar evaluasi yang
biasanya berupa tes. Evaluasi ini dilakukan untuk mengukur apakah tujuan yang
dirumuskan sudah tercapai atau belum. Tes formatif merupakan tes untuk menguku
penguasaan peserta didik setelah suatu pokok bahasan selesai dipaparkan dalam satu kegiatan
belajar terakhir.
8) Kunci jawaban tes formatif
Kunci jawaban tes formatif pada umumnya diletakkan di
bagian paling akhir suatu modul, dengan tujuan agar peserta didik benar-benar
berusaha mengerjakan tes tanpa melihat jawaban terlebih dahulu.
Jadi komponen dasar dalam pembuatan modul minimal
terdiri dari (a) tujuan yang harus dicapai, (b) petunjuk penggunaan, (c)
kegiatan belajar, (d) rangkuman materi, (e) tugas dan latihan, (f) sumber
bacaan, (g) item-item tes, (h) kriteria keberhasilan, dan (i) kunci jawaban.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penelitian pengembangan yang dilakukan
menggunakan unsur-unsur modul meliputi, judul modul, petunjuk umum, tujuan yang
harus dicapai, krtiteria keberhasilan, peta konsep, materi pembelajaran,
rangkuman materi, tugas dan latihan, soal evaluasi, kunci jawaban, glosarium
dan daftar pustaka.
Menurut
Daryanto (2010) dalam usaha memanfaatkan media berupa modul pembelajaran
berbasis keterampilan proses sains yang digunakan sebagai alat bantu mengajar dari pengalaman Edgar
Dale dalam mengadakan klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari paling kongkrit
hingga ke abstrak yang kemudian disebut dengan kerucut pengalaman (cone of experience). Kerucut pengalaman
Dale merupakan salah satu gambaran yang paling banyak digunakan sebagai acuan
teoritis dalam pemanfaatan media dalam proses pembelajaran. Dasar pengembangan
kerucut pengalaman Dale bukan berdasarkan tingkat kesulitan namun berdasarkan
pada tingkat keabstrakan (jumlah jenis indera yang terlibat dalam
pembelajaran). Secara lebih jelas tentang kerucut pengalaman Dale digambarkan Gambar
2.1.
Gambar 2.1. Kerucut Pengalaman Edgar
Dale
Kerucut pengalaman ini dianut secara luas
untuk menentukan alat bantu atau media apa yang sesuai agar siswa memperoleh
pengalaman belajar secara mudah. Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar
Dale memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dapat
melalui proses perbuatan atau pengalaman sendiri apa yang dipelajari, proses
mengamati, dan mendengarkan melalui media. Semakin konkret peserta didik mempelajari
bahan pengajaran, contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak
pengalaman yang diperolehnya. Sebaliknya semakin abstrak peserta didik memperoleh
pengalaman, contohnya hanya mengandalkan bahasa verbal, maka semakin sedikit
pengalaman yang akan diperoleh peserta
didik .
Pengalaman
belajar langsung akan memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai
informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu, karena melibatkan
indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba yang dikenal
dengan learning by doing (belajar
dengan melakukan).
f.
Langkah-langkah Penyusunan Modul
Terdapat empat langkah yang harus dilakukan dalam
menyusun modul, sebagai berikut:
1)
Analisis
kurikulum
Tahapan ini dilakukan untuk menentukan materi apa yang
membutuhkan bahan ajar. dalam hal ini, analisis dilakukan dengan cara melihat
inti materi yang diajarkan, serta kompetensi dan hasil belajar yang harus
dimiliki oleh peserta didik.
2)
Menentukan
judul modul
Untuk menentukan judul
modul, perlu mengacu pada kompetensi dasar atau materi pokok yang ada di dalam kurikulum. Satu kompetensi dasar dapat
dijadikan satu judul modul apabila kompetensi dasar tersebut tidak terlalu
besar.
3)
Memberi
kode pada modul
4)
Penulisan
modul
Ada lima hal penting yang harus ada dalam
modul, yaitu: a. perumusan kompetensi dasar yang harus dikuasai, b. penentuan
alat evaluasi atau penilaian, c. penyusun materi, d. urutan pengajaran, dan e.
struktur bahan ajar.
g.
Kelebihan dan Kekurangan Modul IPA
Belajar dengan menggunakan modul juga sering disebut
dengan belajar mandiri. Bentuk kegiatan belajar mandiri ini mempunyai kekurangan-kekurangan
sebagai berikut: 1) Biaya pengembangan bahan tinggi dan waktu yang dibutuhkan
lama, 2) Menentukan disiplin belajar yang tinggi yang mungkin kurang dimiliki
oleh peserta didik pada umumnya dan peserta
didik yang belum matang pada khususnya, 3) Membutuhkan
ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator untuk terus menerus mamantau
proses belajar siswa, memberi motivasi dan konsultasi secara individu setiap
waktu peserta didik membutuhkan.
Beberapa hal
yang memberatkan belajar dengan menggunakan modul, yaitu: 1) Kegiatan belajar
memerlukan organisasi yang baik, dan 2) Selama proses belajar perlu diadakan
beberapa ulangan/ujian, yang perlu dinilai sesegera mungkin
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam pembelajaran menggunakan modul memiliki beberapa kelemahan yang mendasar
yaitu memerlukan biaya yang cukup besar serta waktu yang lama dalam pengadaan
atau pengembangan modul itu sendiri, dan membutuhkan ketekunan tinggi dari guru
sebagai fasilitator untuk terus memantau proses belajar peserta didik.
Beberapa
keuntungan jika belajar menggunakan modul, antara lain : 1) Motivasi peserta didik dipertinggi
karena setiap kali peserta didik mengerjakan tugas pelajaran dibatasi dengan jelas dan yang sesuai
dengan kemampuannya, 2) Sesudah pelajaran selesai guru dan peserta didik mengetahui
benar peserta didik yang berhasil dengan baik dan mana yang kurang berhasil, 3) Peserta didik mencapai
hasil yang sesuai dengan kemampuannya, 4) Beban belajar terbagi lebih merata
sepanjang semester, dan 5) Pendidikan lebih berdaya guna.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
belajar menggunakan modul sangat banyak manfaatnya, peserta didik dapat
bertanggung jawab terhadap kegiatan belajarnya sendiri, pembelajaran dengan
modul sangat menghargai perbedaan individu, sehingga peserta didik dapat
belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya, maka pembelajaran semakin efektif
dan efisien.
3.
Keterampilan Proses Sains
Ozgelen (2012: 283) menyatakan “Science process
skills (SPS) are the thinking skills that scientists use to construct knowledge
in order to solve problems and formulate results”. Keterampilan proses sains adalah kemampuan
berpikir yang digunakan untuk membangun pengetahuan untuk memecahkan masalah
dan merumuskan hasil. Karamustafaoglu (2011: 26) berpendapat bahwa “Science
process skills are beneficial in that students can realize by participating in
inquiry inthe science laboratory. Science process skills are inseparable in
practice from the conceptual understanding that is involved in learning and
applying science”. Keterampilan proses sains berguna karena peserta didik
dapat menyadari dengan berpartisipasi dalam penyelidikan di laboratorium sains.
Keterampilan proses sains tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konseptual
dalam proses pembelajaran sains. Oleh karena itu, sesuai dengan pendapat Rauf, et.
al (2013: 54) “these skills need to be realized by teachers that it is
important in the learning of science” keterampilan ini perlu dipahami oleh
guru karena merupakan hal penting dalam pembelajaran sains. Jack (2013: 16)
menyatakan bahwa “Using science process skills is an important indicator of
transfer of knowledge….”. Menggunakan keterampilan proses sains merupakan
indikator penting dari transfer pengetahuan. Ongowo & Indoshi (2013: 714)
berpendapat bahwa “science process skills help the students to develop a
sense of responsibility in their own learning, increase permanency of learning
as well as teach them research methods”. Keterampilan proses sains membantu
peserta didik untuk mengembangkan rasa tanggung jawab dalam pembelajaran serta
meningkatkan betapa pentingnya metode penelitian dalam proses pembelajaran.
Bailer, et. al
(2006: 5) mengartikan keterampilan proses sains:
A process skills approach to science instruction means that learning
is focused on intellectual skills rather than on content. Content, however, is
not excluded from this approach. Process skills are practiced in scientific
situation which must necessarily deal with content. Books serve as references
but the emphasis is on hands-on activities with concrete material. Students
skilled in the science processes will be able to conduct investigations on
topic of their own choosing with minimal teacher guidance.
Hal ini berarti bahwa keterampilan proses memfokuskan
pada keterampilan intelektual dibandingkan dengan materi atau isi. Keterampilan
proses lebih menekankan praktik pada situasi pembelajaran yang kemudian
diperoleh isi atau pengetahuan. Menggunakan buku sebagai referensi untuk
melakukan keterampilan peserta didik dengan panduan minimal guru, keterampilan
proses peserta didik akan terkondisikan dengan melakukan investigasi terhadap
topik yang dihadirkan.
Rezba, et. al (1995: ix) berpendapat bahwa: “the
goals for science educations as ways of thingking and investigating as well as
a body of knowledge. Ways of thinking in science are called the process
skills”. Tujuan dari pendidikan IPA adalah jalan berfikir dan investigasi
yang berperan sebagai batang tubuh dari pengetahuan dimana keduanya tersebut
merupakan keterampilan proses.
Dari beberapa pengertian tersebut, maka keterampilan
proses sains adalah keterampilan yang melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif
atau intelektual, manual dan sosial. Keterampilan ini digunakan untuk mengkaji
fenomena alam dengan cara-cara tertentu yaitu menggunakan metode ilmiah untuk
memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu itu selanjutnya, sehingga dari fakta yang
ada dapat menemukan suatu konsep, prinsip, hukum dan teori, atau untuk
mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya.
Keterampilan proses sendiri terdiri dari beberapa
karakteristik. Cruz (2014: 75) berpendapat bahwa “… grouped process skills
into two types-basic and integrated. The basic (simpler) process skills provide
a foundation for learning the integrated (more complex) skills”. Keterampilan
proses sains dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu dasar dan terintegrasi.
Keterampilan proses dasar memberikan dasar atas keterampilan proses
terintegrasi.
Bundu (2006: 12), yang mengatakan bahwa pengkajian sains
dari segi proses disebut juga keterampilan proses sains (science process
skills) atau disingkat saja dengan proses sains. Proses sains adalah
sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena alam dengan cara-cara tertentu
untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu itu selanjutnya. Dengan
keterampilan proses peserta didik dapat mempelajari sains sesuai dengan apa
yang para ahli sains lakukan, yakni melalui pengamatan, klasifikasi, inferensi,
merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen. Rustaman (2005: 80-81) membagi
keterampilan proses sain menjadi sembilan indikator yaitu: melakukan
pengamatan, menafsirkan pengamatan atau inferensi, mengelompokkan atau
klasifikasi, prediksi/meramalkan, berkomunikasi/mengkomunikasikan hasil, berhipotesis,
merencanakan percobaan, menerapkan konsep, dan mengajukan pertanyaan.
Rezba, et. al (1995: v) mengemukakan bahwa
keterampilan proses sains terdiri dari dua bagian, yakni keterampilan proses
sains dasar dan keterampilan proses sains terintegrasi. Keterampilan proses
sains dasar terdiri dari observing, communicating, classifying, measuring
metrically, inferring, predicting. Sedangkan keterampilan proses
terintegrasi terdiri dari identifying variables, constructing a table of
data, constructing a graph, describing relationships between variables,
acquiring and processing your own data, constructing hypotheses, defining
variables operationally, designing investigations, experimenting.
Berdasarkan pendapat di atas, beberapa macam pembagian
tersebut, maka dalam penelitian ini membagi keterampilan proses sains dasar
meliputi: mengamati, mengelompokkan, menafsirkan/inferensi,
meramalkan/prediksi, mengukur. Keterampilan proses sains terintegrasi meliputi:
merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menerapkan
konsep, mengkomunikasikan hasil.
Penjabaran dari kelima keterampilan proses dasar
tersebut dapat dilihat pada penjelasan sebagai berikut:
a.
Observasi/pengamatan
Keterampilan melakukan observasi adalah kemampuan
menggunakan panca indera dalam memperoleh data atau informasi. Kemampuan
melakukan observasi merupakan keterampilan yang paling mendasar dalam sains,
dan penting untuk
mengembangkan ketrampilan proses yang lainnya. Mengamati objek/benda dan gejala
alam melalui panca indera: penglihatan, pendengaran, pembau, peraba dan perasa
akan memperoleh informasi yang akan mendorong rasa ingin tahu untuk melakukan
penyelidikan lebih lanjut. Keterampilan observasi termasuk kegiatan berikut
(Osman, 2012: 4):
1)
Menggunakan beberapa indera
2)
Memperhatikan bagian kecil dari objek dan lingkungan
3)
Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
4)
Membedakan dimana peristiwa itu terjadi
5) Menggunakan
bantuan untuk mengetahui bagian kecil
Jadi, dalam melakukan pengamatan berarti menggunakan
panca indera, dapat juga menggunakan bantuan alat untuk memperoleh informasi
atau data tentang berbagai benda dan peristiwa.
b.
Mengelompokan/klasifikasi
Cruz (2014: 76) menyatakan “Classifying - grouping or
ordering objects or events into categories based on properties or criteria” maksudnya
adalah mengelompokkan suatu benda atau peistiwa sesuai dengan kriteria yang
ada. Pengelompokan obyek atau peristiwa adalah cara memilah objek berdasarkan
kesamaan, perbedaan, dan hubungan. Beberapa perilaku peserta didik dalam
melakukan klasifikasi antara lain: (a) pengidentifikasian suatu sifat umum, dan
(b) memilah-milahkan dengan menggunakan dua sifat atau lebih.
Jadi, klasifikasi adalah kegiatan
mengorganisasikan benda-benda dan kejadian-kejadian ke dalam kelompok-kelompok
sesuai dengan suatu sistem, atau ide pengorganisasian. Pengelompokan objek atau
peristiwa adalah cara memilah objek berdasarkan kesamaan, perbedaan, dan
hubungan. Beberapa perilaku peserta didik dalam melakukan klasifikasi antara
lain: (a) pengidentifikasian suatu sifat umum, dan (b) memilah-milahkan dengan
menggunakan dua sifat atau lebih.
c.
Menafsirkan/inferensi
Menginferensi adalah menggunakan logika untuk membuat
asumsi-asumsi dari apa yang kita amati dan tanyakan. Kemampuan peserta didik
dalam membedakan antara mengobservasi dan menginferensi merupakan hal yang amat
penting dan mendasar (Abruscato & DeRosa, 2010: 50).
Rezba, et. al (1995: 71) mengartikan
penginferensian bahwa: an inference is an explanation or interpretation of
an observation. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa inferensi atau
menyimpulkan merupakan penjelasan atau interpretasi dari hasil pengamatan yang
telah dilakukan sebelumnya. Beberapa perilaku yang dikerjakan peserta didik
pada saat penginferensian antara lain: (a) mengaitkan pengamatan dengan
pengalaman atau pengetahuan terdahulu, dan (b) mengajukan penjelasan-penjelasan
untuk pengamatan-pengamatan.
Menginferensi adalah penarikan kesimpulan dan penjelasan/interpretasi
dari hasil pengamatan/observasi. Jika observasi adalah pengalaman yang
diperoleh melalui satu atau lebih alat indera, maka inferensi adalah penafsiran
atau penjelasan terhadap hasil
observasi tersebut. Dengan mengamati pola dari suatu peristiwa dapat disusun
sebuah hipotesis.
d.
Meramalkan/prediksi
Menurut Rezba, et. al (1995:
89) prediksi adalah sebuah ramalan atas apa yang akan teramati pada masa
datang. Kemampuan untuk membuat predisksi tentang suatu benda atau peristiwa
membantu kita untuk menentukan perilaku yang sesuai pada lingkungan kita.
Memprediksi sangat terkait dengan mengamati, menginferensi, dan
mengklasifikasi; sebuah keterkaitan yang menakjubkan keterampilan yang satu
bergantung kepada keterampilan yang lain. Prediksi dilakukan berdasarkan
pengamatan yang saksama dan inferensi yang dihasilkan dari hubungan antara
peristiwa-peristiwa yang teramati.
Membuat ramalan atau prediksi adalah membuat dugaan
secara logis tentang hasil dari kejadian masa depan. Ramalan ini didasarkan
pada pengamatan yang baik dan kesimpulan yang dibuat tentang kejadian kejadian
yang diamati. Beberapa perilaku peserta didik dalam meramalkan antara lain: (a)
penggunaan data dan pengamatan yang sesuai, (b) penafsiran generalisaisi
tentang pola-pola, dan (c) pengujian kebenaran dari ramalan-ramalan yang
sesuai..
e.
Mengukur/pengukuran
Mengukur dapat diartikan sebagai kegiatan membandingkan
yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sebuah informasi hasil pengukuran berisi dua bagian yaitu angka untuk memberitahu berapa banyak, dan nama satuan
untuk memberitahu kita berapa banyak dengan dengan rujukan apa. Beberapa
perilaku peserta didik dalam melakukan pengukuran antara lain: a) pengukuran
panjang, volume, massa, temperatur, dan waktu dalam satuan yang sesuai, serta
b) memilih alat dan satuan yang sesuai untuk tugas pengukuran tertentu
tersebut.
Keterampilan proses sains yang terintegrasi mencakup:
a.
Merumuskan hipotesis
Sebuah eksperimen biasanya
berawal dari sebuah masalah yang harus dipecahkan, sebuah pertanyaan yang harus
dijawab, atau sebuah keputusan yang harus dibuat. Dengan mengubah salah satu
faktor dalam sebuah penyelidikan secara sengaja, maka hasilnya faktor yang lain
akan berubah. Sebelum penyelidikan dan eksperimen dilakukan, sebuah hipotesis
seringkali dinyatakan. Hipotesis adalah prediksi tentang hubungan antara
variabel-variabel. Hipotesis menyediakan petunjuk ketika peneliti hendak
mengambil data dalam penelitian (Rezba, et. al, 1995: 219). Jadi, hipotesis
yaitu membuat suatu prediksi yang didasarkan pada bukti-bukti penelitian dan
penyelidikan sebelumnya.
b.
Merencanakan percobaan
Merencanakan percobaan merupakan
kemampuan menentukan obyek yang telah diteliti, alat dan bahan yang akan
digunakan, menentukan variabel yang akan diamati dan diukur dan menentukan
langkah-langkah percobaan yang akan ditempuh (Rustaman, 2005: 81).
c. Mengajukan
pertanyaan
Kemampuan mengajukan pertanyaan dapat berupa meminta
penjelasan, tentang apa, mengapa, bagaimana, atau menanyakan latar belakang
hipotesis. Dalam hal ini, peserta didik bukan hanya asal mengajukan pertanyaan
tapi melibatkan pikiran. Indikatornya harus memunculkan sesuatu yang
mengherankan, mustahil, tidak biasa/kontradiktif. (Rustaman, 2005: 81 dan 164)
d. Menerapkan konsep
Menurut Rustaman (2005 : 81) kemampuan menggunakan
konsep yang telah dimiliki untuk memecahkan masalah tertentu atau menjelaskan
suatu peristiwa baru. Indikator menerapkan konsep ini adalah: menghitung,
menjelaskan peristiwa baru dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki,
menerapkan konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru.
e. Mengkomunikasikan
hasil
Rezba, et.
al (1995: 15) dalam bukunya memaparkan bahwa komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang jelas, akurat, dan tidak ambigu dan menggunakan keterampilan
yang perlu dikembangkan dan dipraktikkan. Hasil pengukuran yang diperoleh saat
penyelidikan dilakukan disebut dengan data. Hasil pengukuran berupa data dapat
diinterpretasikan ke dalam tabel dan grafik. Seperti pendapat Rezba, et. al (1995:
177) nomor pelari dan jarak yang ditempuh dapat disajikan dengan sebuah grafik.
Grafik ini akan memudahkan penyajian data berdasarkan hasil percobaan. Pembaca
bisa melihat hubungan antara nomor pelari dengan jarak yang ditempuh masing-masing
pelari secara mudah.
Jadi,
mengkomunikasikan adalah mengatakan apa yang diketahui dengan ucapan kata-kata,
tulisan, gambar, demonstrasi, atau grafik. Peserta didik harus berkomunikasi
dalam rangka membagikan hasil pengamatan kepada orang lain.
4.
Kemampuan Berpikir Kritis
a.
Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir
adalah suatu proses untuk mengolah pengetahuan yang kita terima melalui panca
indera, dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Menurut Halpen (1996)
dalam Hadi (2009: 30) berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi
kognitif dalam menentukan tujuan. Proses berpikir tersebut dilalui setelah
mengetahui dan menentukan tujuan, mengacu langsung kepada sasaran yang
merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan
masalah, menganalisis masalah, mengumpulkan berbagai kemungkinan, merumuskan
kesimpulan apakah sudah sesuai dengan teori atau tidak.
Elaine Johnson (2002: 183) berpikir kritis merupakan
sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental
seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi,
dan melakukan penelitian ilmiah. Cece Wijaya (1996: 72) mengemukakan bahwa
berpikir kritis adalah suatu kegiatan atau suatu proses menganalisis,
menjelaskan, mengembangkan atau menyeleksi ide, mencakup mengkategorisasikan,
membandingkan dan melawankan (contrasting), menguji argumentasi dan asumsi,
menyelesaikan dan mengevaluasi kesimpulan induksi dan deduksi, menentukan
prioritas dan membuat pilihan.
Ennis (1985) seperti dikutip oleh Morgan (1995)
mendefinisikan berpikir kritis sebagai cara berpikir reflektif yang berfokus
pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus
dilakukan. Sedangkan Hendra Surya (2013: 159)
menyatakan berpikir kritis sebagai sebuah proses aktif dan cara berpikir secara
teratur atau sistematis untuk memahami informasi yang mendalam, sehingga
membentuk sebuah keyakinan kebenaran informasi yang didapat atau pendapat yang
disampaikan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis
merupakan sesuatu yang mempunyai
makna yang harus dibangun pada diri siswa sehingga menjadi suatu watak atau kepribadian yang terarah dalam kehidupan
memecahkan segala persoalan hidupnya dengan cara mengidentifikasi setiap
informasi yang diterimanya lalu mampu untuk mengevaluasi dan kemudian
menyimpulkannya secara sistematis dengan mengemukakan pendapat dengan cara yang
terorganisasi.
b.
Komponen dan Langkah-langkah
Berpikir Kritis
Selanjutnya, Ennis (1985) dalam Santoso (2009: 34),
mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima
besar aktivitas diantaranya adalah:
1)
Memberikan penjelasan sederhana
meliputi, memusatkan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta
menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
2)
Membangun keterampilan dasar,
yang terdiri atas mempertimbangkan sumber yang relevan atau tidak dan
mengamati, serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3)
Menyimpulkan, yang terdiri atas
kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan
hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
4)
Memberikan penjelasan lebih
lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan mendefinisikan
pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
5)
Mengatur strategi dan teknik,
yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
Indikator-indikator
tersebut dalam prakteknya dapat menjadi suatu kesatuan yang padu membentuk
sebuah kegiatan atau terpisah-pisah menjadi hanya beberapa indikator saja.
Penemuan indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui
aspek-aspek perilaku yang terungkap pada definisi berpikir kritis.
Untuk
mengetahui kemampuan berpikir peserta
didik, dapat dilihat dari kemampuan didik dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi sesuai dengan ranah kognitif menurut taksonomi Bloom.
Para ahli penilaian membagi penilaian kognitif peserta didik menjadi enam unsur, yakni 1)
mengingat (remembering), 2) memahami
(understanding), 3) menerapkan (applying), 4) menganalisis (analyzing), 5) mengevaluasi (evaluating), dan 6) mengkreasi (creating) (Anderson and Krathwohl. 2001:
66).
Bagi Bloom,
1956 (dalam Filsaime, 2008) berpikir kritis memiliki arti yang sama dengan
tingkat berpikir yang lebih tinggi, terutama menganalisis dan mengevaluasi
(taksonomi Bloom pada versi lama).
1)
Menganalisis
Pada
tingkat menganalisis, peserta didik dituntut mampu menganalisis informasi yang masuk dan menguraikan
keterkaitan hubungan dari satu bagian ke bagian yang lain. Proses kategori kognitif
yakni membedakan (differentiating),
mengatur (organizing), dan melengkapi
(attributing) (Anderson and
Krathwohl. 2001: 79). Perbedaan terjadi ketika seorang peserta didik mampu membedakan informasi yang
penting dengan informasi yang kurang relevan. Mengatur melibatkan
pengidentifikasian elemen-elemen komunikasi atau situasi dan mengenali
keterkaitan hubungan yang jelas.
Melengkapi terjadi ketika seorang peserta didik dapat mengetahui sudut pandang, bias,
nilai, atau kebutuhan yang mendasari komunikasi (Anderson and Krathwohl. 2001: 82).
2)
Mengevaluasi
Menurut Anderson and Krathwohl (2001: 83) mengevaluasi adalah
mendefinisikan sebagai pembuat keputusan yang didasarkan pada standar dan
kriteria. Kriteria yang paling sering digunakan adalah kualitas, keefektifan,
keakuratan, dan kekonsistenan.
Menurut Screven dan Paul (1996) dan Angelo (1995) dalam Filsaime
(2008: 56) memandang berpikir kritis sebagai proses disiplin cerdas dari
konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis, evaluasi aktif, dan berketerampilan
yang dikumpulkan dari, observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi sebagai sebuah penuntun menuju kepercayaan dan aksi.
Menurut Angelo (1995: 6) karakteristik berpikir kritis meliputi,
menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya,
menginferensi dan mengevaluasi.
Pembagian
indikator berpikir kritis menurut Angelo dipandang sesuai dengan kemampuan
berpikir seperti yang terdapat di dalam Taksonomi Bloom yang memiliki kesamaan
yakni pada menganalisis, dan mengevaluasi.
Berdasarkan
uraian di atas, indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1)
Kemampuan Mengenal dan
Memecahkan Masalah
Peserta didik yang berpikir kritis akan mampu
mengetahui masalah yang dihadapi, memahami penyebab dari masalah tersebut, dan
mampu membangun konsep secara mandiri untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuan
keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan
konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker, 2001)
dalam Hadi (2009; 36).
Misal
dalam menyelesaikan suatu kasus yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik akan
memahami dan mengetahui inti pokok permasalahan pada kasus tersebut, sehingga
siswa dapat membuat pola-pola suatu konsep.
2)
Kemampuan Menginferensi
Kemampuan
menginferensi adalah kemampuan menjelaskan suatu pengamatan atau pernyataan. Inferensi dapat
masuk akal (logis) atau tidak masuk akal. Inferensi masuk akal adalah inferensi
yang dapat diterima atau dimengerti oleh orang yang mengetahui topik
permasalahannya, sedangkan inferensi yang tidak masuk akal adalah membuat
kesimpulan yang terlalu jauh dari bukti yang ada (Nur. 2011: 5).
Misal
pada saat melakukan pengamatan yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik akan membuat
suatu kesimpulan sementara berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
3)
Kemampuan Menganalisis
Menurut
Filsaime (2008; 66) Analisis adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan
inferensial yang dimaksud dan aktual antara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan,
konsep-konsep, deskripsi-deskripsi atau bentuk representasi lainnya untuk
mengekspresikan kepercayaan-kepercayaan, penilaian, pengalaman-pengalaman,
alasan-alasan, informasi atau opini.
Kemampuan menganalisis
adalah kemampuan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di
antara dua pendekatan pada solusi sebuah masalah yang diberikan (Filsaime.
2008: 66).
Misal,
setelah melakukan pengamatan yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik
mengidentifikasi suatu data yang telah diperoleh dari pengamatan menjadi bagian
yang lebih terperinci.
4)
Kemampuan Mensintesis
Kemampuan mensintesis
merupakan keterampilan menggabungkan atau menyusun kembali (reorganize) hal-hal yang spesifik agar
dapat mengembangkan suatu struktur baru (Arikunto. 2013: 133).
Keterampilan mensintesis adalah keterampilan membuat suatu pernyataan dari apa
yang telah dipelajari dari suatu percobaan atau pengamatan.
Misal,
setelah melakukan pengamatan yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik membuat
suatu kesimpulan secara umum dengan cara mengkaitkan pengamatan yang telah
dilakukan dengan informasi yang telah diperoleh menjadi suatu ide-ide baru.
5)
Kemampuan Mengevaluasi atau
Menilai
Kemampuan mengevaluasi
adalah kemampuan memberikan suatu keputusan tentang nilai yang diukur dengan
menggunakan kriteria yang ada. Pada tahap ini peserta didik mampu mensinergikan aspek-aspek
kognitif dalam menilai suatu fakta atau konsep. Keterampilan menilai
menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan
menggunakan standar tertentu (Harjasujana, 1987: 44) dalam Hadi (2009; 37).
Misal,
terdapat sebuah kasus berkaitan IPA. Peserta didik mampu memberikan keputusan terhadap
kasus tersebut berdasarkan kriteria-kriteria atau standar tertentu.
Kemampuan berpikir kritis bisa dimunculkan
kepada peserta
didik dengan cara
dilatih. Adapun langkah berpikir kritis menurut Arthur L. Costa dalam Hendra
Surya (2012: 179) langkah
berpikir kritis itu dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
1) Pengenalan masalah-masalah, menilai
informasi, dan memecahkan masalah atau menarik kesimpulan.
2) Menilai informasi yang relevan.
3) Pemecahan masalah atau penarikan
kesimpulan
c.
Karakteristik Kemampuan Berpikir Kritis
Alec Fisher (2008: 7) menyebutkan karakteristik kemampuan berpikir kritis sebagai berikut: 1) Mengenal masalah, 2) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, 3) Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, 4) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, 5) Menilai fakta dan mengevalusai pernyataan-pernyataan, 6) Mengenal adanya hubungn yang logis antara masalah-masalah, 7) Menarik kesimpulan dan kesamaan yang diperlukan, 8)Menguji kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, 9) Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas.
Menurut Zeidler, et al (1992) menyatakan beberapa karakteristik orang yang mampu berpikir kritis antara lain:
1) Memiliki perangkat pikiran tertentu yang dipergunakan untuk mendekati gagasannya dan memiliki motivasi kuat untuk mencari dan memecahkan masalah.
2) Bersikap skeptik, yaitu tidak mudah menerima ide atau gagasan kecuali telah membuktikan sendiri kebenarannya.
Wahab Jufri (2013: 104)
menyatakan bahwa indikator kemampuan berpikir kritis adalah merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan
deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, mengambil keputusan dan
menentukan tindakan.
Berdasarkan aspek kemampuan berpikir kritis peserta didik yang telah dikemukakan para ahli di atas, maka dalam penelitian ini
menggunakan aspek kemampuan berpikir kritis seperti pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek kemampuan berpikir kritis
|
Indikator
|
Kemampuan
berpikir analisis
|
Mengidentifikasi
alasan yang dinyatakan
|
Kemampuan
berpikir sintesis
|
Menggabungkan
fakta dan contoh dalam kehidupan sehari-hari
|
Kemampuan
berpikir memecahkan masalah
|
Mengamati
peristiwa yang terjadi, dapat berupa menjawab pertanyaan “mengapa?”
|
Kemampuan
menyimpulkan
|
Menafsirkan
hubungan sebab-akibat
|
Kemampuan
mengevaluasi atau menilai
|
Memberi
pendapat atas informasi yang telah diperoleh.
|
Berdasarkan
karakteristik diatas, maka pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains diharapkan bisa membantu untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam pembelajaran sains.
5.
Hasil Belajar
Dalam tujuan pembelajaran atau sering juga disebut
dengan tujuan pendidikan, hasil belajar merupakan suatu hal yang paling pokok,
karena berhasil tidaknya tujuan pembelajaran tergantung dari hasil belajar
peserta didik. Berhasilnya peserta didik merupakan bagian dari berhasilnya
tujuan pendidikan artinya bahwa apabila hasil belajar peserta didik yang bagus
sudah barang tentu tujuan pendidikan juga berhasil dan sebaliknya apabila hasil
belajar peserta didik kurang baik maka tujuan pendidikan belum dapat dikatakan
berhasil. Pentingnya hasil belajar dapat dilihat dari dua sisi yakni bagi guru maupun
bagi peserta didik dalam pengelolaan pendidikan pada umumnya dan khususnya
mengenai tujuan dari pendidikan. Hasil belajar peserta didik dituangkan berupa
nilai.
Gagne (1992) dalam Wahab Jufri (2013: 58) menyatakan hasil belajar adalah
kemampuan (performance) yang dapat teramati dalam diri seseorang dan
disebut dengan kapabilitas. Menurut Gagne, ada lima kategori kapabilitas
manusia yaitu 1) keterampilan inteletual (intelektual
skill); 2) strategi kognitif (cognitive
strategy); 3) informasi verbal (verbal
infromation); 4) keterampilan motorik (motor
skill); dan 5) sikap (attitude).
Di dalam informasi verbal, peserta didik dituntut
mampu mengemukakan pendapatnya baik di depan guru maupun teman-teman yang lain.
Mampu memberikan pengetahuan, ide atau gagasannya kepada orang lain sehingga
dapat bermanfaat baik orang lain. Selain mengemukakan pendapat juga harus mampu
menerima dan mencerna semua informasi-informasi dari guru sehingga pengetahuan
yang dimilikinya dapat bertambah dan berkembang ke arah positif.
Di samping informasi verbal, peserta didik juga
dituntut untuk mampu memunculkan ide-ide setiap menghadapi suatu masalah, dalam
hal ini masuk dalam kategori keterampilan intelek. Di dalam menghadapi suatu
permasalahan tersebut, para peserta didik selain mampu memunculkan ide juga harus
disertai dengan cara berpikir yang jernih.
Keterampilan kognitif peserta didik berupa
kemampuan memahami/ mendalami dan mengingat setiap materi pelajaran.
Keterampilan kognitif di samping berasal dari diri peserta didik yang selalu
rajin dan tekun juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat IQ peserta didik.
Keterampilan kognitif peserta didik juga masih ada
hubungannya dengan keterampilan motorik. Dalam keterampilan motorik berkaitan
dengan kecepatan cara berpikir dalam menghadapi setiap pertanyaan yang diberikan
oleh guru. Keterampilan motorik dapat dilihat dari tingkat kecepatan cara berpikir
peserta didik pada saat mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru.
Kecepatan cara berpikir peserta didik dipengaruhi
oleh kelincahan peserta didik pada saat berbicara atau bergaul dengan teman.
Sedangkan tingkat kualitas jawaban dari setiap pertanyaan tergantung dari
kecepatan cara berpikirnya.
Kemudian yang terakhir adalah sikap. Sikap
merupakan indikator yang tak kalah pentingnya dalam penilaian hasil belajar.
Sikap yang baik mencerminkan hasil belajar yang baik pula, karena di dalam
proses belajar mengajar yang berhasil akan mempengaruhi perubahan sikap peserta
didik. Seberapa besarnya hasil yang telah dicapai peserta didik, sebasar itu
pula perubahan sikap yang mampu dilakukannya.
Sedikit berbeda dengan klasifikasi Gagne, Benyamin
S. Bloom (1964) dalam Wahab Jufri (2013: 59) mengelompokkan hasil belajar
kedalam tiga ranah atau domain yaitu (1) kognitif, (2) afektif, dan (3)
psikomotorik.
6.
Kalor dan perpindahannya
a.
Pengerian Kalor
Kalor
adalah bentuk energi yang berpindah dari benda yang suhunya lebih tinggi ke
benda yang suhunya lebih rendah ketika benda bersentuhan.Apabila dua benda A
dan B memiliki suhu A lebih besar daripada suhu B, kemudian kedua benda
tersebut disentuhkan, maka suhu A akan menurun dan suhu benda B akan naik
hingga setimbang (kedua benda bersuhu sama). Dalam hal itu, benda yang bersuhu
tinggi memberikan sesuatu kepada yang bersuhu rendah, sesuatu yang diberikan
itu adalah energi. Energi yang diberikan karena perbedaan suhu semacam itu
dinamakan kalor.
Satuan
kalor sama dengan satuanya energi, yaitu Joule. Kadang-kadang satuan kalor
menggunakan kalori atau kilokalori. Kesetaraan kalori dengan Joule adalah : 1
kalori=4,18 jouledan1 joule= 0,24 kalori.
b.
Perubahan Wujud Zat
Setiap
zat memiliki kecenderungan untuk berubah jika zat tersebut diberikan temperatur
yang tinggi (dipanaskan) ataupun temperatur yang rendah (didinginkan).
Kecenderungan untuk berubah wujud ini disebabkan oleh kalor yang dimiliki
setiap zat. Suatu zat dapat berubah menjadi tiga wujud zat, di antaranya cair,
padat, dan gas. Perubahan wujud zat ini diikuti dengan penyerapan dan pelepasan
kalor.
1)
Kalor Penguapan dan
Pengembunan
Kalor
penguapan adalah kalor yang dibutuhkan oleh suatu zat untuk menguapkan zat
tersebut. Jadi, setiap zat yang akan menguap membutuhkan kalor. Adapun kalor
pengembunan adalah kalor yang dilepaskan oleh uap air yang berubah wujud
menjadi air. Jadi, pada setiap pengembunan akan terjadi pelepasan kalor.
Besarnya kalor yang dibutuhkan pada saat penguapan dan kalor yang dilepaskan
pada saat pengembunan adalah sama. Secara matematis, kalor penguapan dan
pengembunan dapat dituliskan sebagai berikut.
Q = m.L
2)
Kalor Peleburan dan
Pembekuan
Besarnya
kalor yang dibutuhkan pada saat peleburan dan besarnya kalor yang dilepaskan
dalam proses pembekuan adalah sama. Perumusan untuk kalor peleburan dan
pembekuan sama dengan perumusan pada kalor penguapan dan pengembunan, yakni
sebagai berikut.
Q = m L
c. Hubungan Kalor Laten dan Perubahan
Wujud
Sebuah
benda dapat berubah wujud ketika diberi kalor. Coba Anda perhatikan perilaku
suatu benda ketika dipanaskan. Apabila suatu zat padat, misalnya es dipanaskan,
es tersebut akan menyerap kalor dan beberapa lama kemudian berubah wujud
menjadi zat cair. Perubahan wujud zat dari padat menjadi cair ini disebut
proses melebur. Temperatur pada saat zat mengalami peleburan disebut titik
lebur zat. Adapun proses perubahan wujud zat dari cair menjadi padat disebut
sebagai proses pembekuan dan temperatur ketika zat mengalami proses pembekuan
disebut titik beku zat.
Jika zat
cair dipanaskan akan menguap dan berubah wujud menjadi gas. Perubahan wujud
dari zat cair menjadi uap (gas) disebut menguap. Pada peristiwa penguapan
dibutuhkan kalor. Proses penguapan dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya Anda mencelupkan tangan Anda ke dalam cairan spiritus atau alkohol.
Spiritus atau alkohol adalah zat cair yang mudah menguap. Untuk melakukan
penguapan ini, spiritus atau alkohol menyerap panas dari tangan Anda sehingga
tangan Anda terasa dingin. Peristiwa lain yang memperlihatkan bahwa proses
penguapan membutuhkan kalor adalah pada air yang mendidih. Penguapan hanya
terjadi pada permukaan zat cair dan dapat terjadi pada sembarang temperatur,
sedangkan mendidih hanya terjadi pada seluruh bagian zat cair dan hanya terjadi
pada temperatur tertentu yang disebut dengan titik didih. Proses kebalikan dari
menguap adalah mengembun, yakni perubahan wujud dari uap menjadi cair. Ketika
sedang berubah wujud, baik melebur, membeku, menguap, dan mengembun, temperatur
zat akan tetap, walaupun terdapat pelepasan atau penyerapan kalor. Dengan
demikian, terdapat sejumlah kalor yang dilepaskan atau diserap pada saat
perubahan wujud zat, tetapi tidak digunakan untuk menaikkan atau menurunkan
temperatur. Kalor ini disebut sebagai kalor laten dan disimbolkan dengan huruf
L. Besarnya kalor ini bergantung pada jumlah zat yang mengalami perubahan wujud
(massa benda). Jadi, kalor laten adalah kalor yang dibutuhkan oleh suatu benda
untuk mengubah wujudnya per satuan massa.
Kalor
yang diserap oleh suatu zat padat ketika melebur atau menguap tidak dapat
menaikkan temperaturnya. Berdasarkan teori kinetik, pada saat melebur atau
menguap, kecepatan getaran molekul bernilai maksimum. Kalor yang diserap tidak
menambah kecepatannya, tetapi digunakan untuk melawan gaya ikat antarmolekul
zat tersebut. Ketika molekul-molekul ini melepaskan diri dari ikatannya, zat
padat berubah menjadi zat cair atau zat cair berubah menjadi gas. Setelah
seluruh zat padat melebur atau menguap, temperatur zat akan bertambah kembali.
Peristiwa kebalikannya terjadi juga pada saat melebur, membeku, atau mengembun.
d. Azas Black
Kalor
adalah energi yang dipindahkan dari benda yang memiliki temperatur tinggi ke
benda yang memiliki temperatur lebih rendah sehingga pengukuran kalor selalu
berhubungan dengan perpindahan energi. Energi adalah kekal sehingga benda yang
memiliki temperatur lebih tinggi akan melepaskan energi sebesar QL dan benda
yang memiliki temperatur lebih rendah akan menerima energi sebesar QT dengan
besar yang sama. Secara matematis, pernyataan tersebut dapat ditulis sebagai
berikut:
QLepas = Qterima
Persamaan
tersebut menyatakan hukum kekekalan energi pada pertukaran kalor yang disebut
sebagai Asas Black. Nama hukum ini diambil dari nama seorang ilmuwan Inggris
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, yakni Joseph Black (1728–1799).
Pengukuran kalor sering dilakukan untuk menentukan kalor jenis suatu zat. Jika
kalor jenis suatu zat diketahui, kalor yang diserap atau dilepaskan dapat
ditentukan dengan mengukur perubahan temperatur zat tersebut. Kemudian, dengan menggunakan
persamaan:
Q = m c ΔT
Besarnya
kalor dapat dihitung. Ketika menggunakan persamaan ini, perlu diingat bahwa temperatur
naik berarti zat menerima kalor, dan temperatur turun berarti zat melepaskan
kalor
e. Perpindahan Kalor
Kalor itu berpindah dari suhu yang tinggi ke suhu
yang rendah. Sebagai ilustrasi saat
seseorang menanak nasi. Peristiwa
apa yang menyebabkan beras yang bertekstur keras dapat berubah menjadi nasi
yang lunakdan lembut, terjadi karena adanya perpindahan kalor dari api kompor ke beras dan
air yang berada dalam wadah pemasak itu. Cara kalor berpindah ada tiga cara yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.
1) Konduksi
Konduksi
adalah perpindahan kalor yang tidak disertai perpindahan zat penghantar. Misalnya,
salah satu ujung batang besi dipanaskan. Akibatnya, ujung besi yang lain akan terasa panas.
Jika
salah satu ujung sebuah batang logam diletakkan di dalam nyala api, sedangkan
ujung yang satunya lagi dipegang, bagian batang yang dipegang ini akan terasa
makin lama makin panas, walaupun tidak kontak langsung dengan nyala api itu.
Batang logam ini terdiri dari partikel-partikel logam yang sangat berdekatan
letaknya. Sehingga saat ujung logam dikenai panas maka partikel diujung
tersebut memperoleh energi panas yang membuatnya bergetar dan bertumbukan
dengan partikel disebelahnya tanpa ikut berpindah.
2) Konveksi
Konveksi
adalah proses perpindahan kalor dengan disertainya perpindahan partikel.
Konveksi ini umumnya terjadipada zat fluid (zat yang mengalir) seperti air dan
udara. Konveksidapat terjadi secara alami ataupun dipaksa. Jika bahan yang
dipanaskan dipaksa bergerak dengan alat peniup atau pompa, prosesnya disebut
konveksi yang dipaksa, kalau bahan itu mengalir akibat perbedaan rapat massa,
prosesnya disebut konveksi alamiah atau konveksi bebas.
3) Radiasi
Radiasi
merupakan proses perpindahan kalor yang tidak memerlukan medium (perantara).
Radiasi ini biasanya dalam bentuk Gelombang Elektromagnetik (GEM) yang berasal
dari matahari. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari proses radiasi juga
berlaku saat kita berada didekat api unggun. Kita akan meninjau proses radiasi
yang berasal dari matahari. Matahari adalah sumber cahaya di bumi, sinarnya
masuk ke bumi melewati filter yang disebut atmosfer, sehingga cahaya yang masuk
ke bumi adalah cahaya yang tidak berbahaya.
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara
lain:
1.
Penelitian
yang dilakukan oleh Rahmaditasari, Endah Peniati dan Kasmui (2013) bertujuan
untuk mengetahui kelayakan dan keefektifan modul pembelajaran IPA Terpadu
berpendekatan keterampilan proses pada tema dampak limbah rumah tangga terhadap lingkungan
untuk SMP kelas VIII. Penelitian menggunakan metode Research and
Development (R&D). Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul termasuk
dalam kriteria layak digunakan tanpa revisi berdasarkan hasil validasi yang
dilakukan oleh pakar. Hasil tanggapan penggunaan modul oleh guru dan siswa
termasuk dalam kriteria sangat menarik. Hasil belajar siswa pada skala besar
mencapai 87,5% siswa tuntas belajar, menunjukkan adanya hasil yang signifikan
karena hasil thitung>ttabel dan n-gain termasuk dalam
kategori tinggi. Disimpulkan modul pembelajaran IPA Terpadu berpendekatan keterampilan
proses pada tema dampak limbah rumah tangga terhadap lingkungan layak dan
efektif digunakan dalam pembelajaran IPA Terpadu kelas VIII.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Richard Owino Ongowo (2013) bertujuan untuk menentukan
keterampilan proses sains termasuk dalam
Sertifikat Kenya Ujian
praktek Pendidikan Menengah (KCSE) biologi di Kenya
untuk jangka waktu 10 tahun (2002-2012). Isi KCSE Biologi Pertanyaan Praktis
(KCPE-BPQ) untuk
periode dianalisis berdasarkan 12
kategori keterampilan proses sains dan deskripsi
mereka. Data dianalisis
secara deskriptif dengan menggunakan persentase. Lima keterampilan proses sains yang paling
umum diidentifikasi dari 12 diperiksa dalam penelitian
ini adalah observasi (32,24%),
berkomunikasi (14,63%), menyimpulkan (13,13%), eksperimen
(12,21%) dan menafsirkan
data (11,94%). Hasil penelitian juga mengungkapkan persentase
yang tinggi dari keterampilan
proses sains dasar 73,73% dibandingkan
dengan keterampilan proses sains yang
terintegrasi 26,27%.
3.
Penelitian
yang dilakukan oleh A.B. Susilo (2012) yang mengembangkan model pembelajaran IPA berbasis
masalah dengan model Four-D, yang meliputi tahap definition (pendefinisian),
design (perancangan), development (pengembangan) dan disseminate (penyebaran)
untuk meningkatkan motivasi belajar dan berpikir kritis. Pengumpulan data
dengan tes kemampuan berpikir kritis, observasi dan angket motivasi. Hasil
belajar kemampuan berpikir kritis kelas uji coba mengalami peningkatan dari
61,53 menjadi 80,24. Uji signifikansi hasil belajar kognitif kelas uji coba
diperoleh nilai thitung = 11,76 dan harga ttabel = 1,69;
dapat dikatakan hasil belajar tes kemampuan berpikir kritis mengalami
peningkatan yang signifikan. Motivasi belajar siswa dalam pembelajaran
mengalami peningkatan dari pre-test ke post-test. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa perangkat pembelajaran IPA Berbasis Masalah yang telah dikembangkan
mampu meningkatkan motivasi dan kemampuan berpikir kritis siswa.
4.
Penelitian
yang dilakukan oleh Sinan Özgelen (2012) yang bertujuan untuk
menyelidiki keterampilan proses ilmiah peserta didik Turki utama di bawah kerangka teori
dari domain kognitif. Sampel set terdiri dari
306 peserta didik kelas keenam dan ketujuh dari sekolah umum, swasta, dan bussed. Uji Keterampilan Proses Terpadu Turki digunakan untuk mengukur keterampilan proses ilmiah, dan temuan menunjukkan skor umumnya rendah. Namun, hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan antara peserta didik kelas enam dan ketujuh di sekolah swasta dan publik. Selain itu, perbedaan yang signifikan muncul di kalangan peserta didik kelas enam di masing-masing jenis sekolah. Peserta didik sekolah swasta memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserya didik sekolah masyarakat dan bussed. Demikian pula, perbedaan yang signifikan ditentukan antara peserta didik kelas enam di sekolah umum dan bussed. Pada tingkat kelas tujuh, peserta didik sekolah swasta mencetak secara signifikan lebih tinggi daripada peserta didik di sekolah masyarakat dan bussed. Perbedaan ini dijelaskan dan dibahas dalam kerangka domain kognitif dan kemungkinan alasan untuk pencapaian ilmu diidentifikasi.
306 peserta didik kelas keenam dan ketujuh dari sekolah umum, swasta, dan bussed. Uji Keterampilan Proses Terpadu Turki digunakan untuk mengukur keterampilan proses ilmiah, dan temuan menunjukkan skor umumnya rendah. Namun, hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan antara peserta didik kelas enam dan ketujuh di sekolah swasta dan publik. Selain itu, perbedaan yang signifikan muncul di kalangan peserta didik kelas enam di masing-masing jenis sekolah. Peserta didik sekolah swasta memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserya didik sekolah masyarakat dan bussed. Demikian pula, perbedaan yang signifikan ditentukan antara peserta didik kelas enam di sekolah umum dan bussed. Pada tingkat kelas tujuh, peserta didik sekolah swasta mencetak secara signifikan lebih tinggi daripada peserta didik di sekolah masyarakat dan bussed. Perbedaan ini dijelaskan dan dibahas dalam kerangka domain kognitif dan kemungkinan alasan untuk pencapaian ilmu diidentifikasi.
5.
Penelitian
yang dilakukan oleh Tia Ristiasari, Bambang Priyono dan Sri Sukaesih (2012)
yang bertujuan untuk mengetahui model pembelajaran problem solving dengan mind
mapping berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP N 6
Temanggung. Hasil penelitian diperoleh peningkatan tes kemampuan berpikir
kritis siswa kelas eksperimen sebesar 0,40 (sedang) sedangkan untuk kelas
kontrol sebesar 0,23 (rendah). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa penerapan
model pembelajaran problem solving dengan mind mapping berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kritis di SMP Negeri 6 Temanggung.
6.
Penelitian
yang dilakukan oleh Rose Amnah Abd
Rauf, Mohamad Sattar
Rasul, Azlin Norhaini Mansor, Zarina Othman dan N. Lyndon (2013) bertujuan untuk menyelidiki apakah pendekatan pengajaran
yang digunakan dalam proses pengajaran dan pembelajaran dari kelas sains dapat
memberikan kesempatan untuk menanamkan keterampilan proses sains dan untuk
mengidentifikasi keterampilan proses sains yang menanamkan (jika ada) dalam
pelajaran tanpa benar-benar berencana untuk mengajarkan keterampilan proses
sains. Ini merupakan studi kasus kualitatif dalam dua Sekolah Cerdas di
Malaysia. 24 peserta
didik berusia 14 tahun dan dua
guru sains adalah sampel dari penelitian ini. Penelitian
ini mengungkapkan bahwa proses pengajaran dan pembelajaran IPA yang menggunakan
berbagai pendekatan mengajar di salah satu pelajaran ilmu memiliki keuntungan
tambahan dalam hal memberikan kesempatan bagi penanaman keterampilan proses
sains. Hal ini juga berhasil memberikan peserta didik
dengan kesempatan untuk belajar secara mandiri dalam memperoleh beberapa
keterampilan. Penggunaan berbagai pendekatan pengajaran dalam penjajaran satu
sama lain. mengajar ilmu pengetahuan dan proses belajar adalah proses dinamis,
di mana gerakan dari satu pendekatan pengajaran yang lain terjadi dan belum
tentu selalu terjadi dalam urutan teratur. Oleh karena itu, penggunaan berbagai
pendekatan pengajaran dalam pelajaran tunggal dapat menciptakan lebih banyak
kesempatan untuk penanaman dan perolehan keterampilan proses sains di kelas.
7.
Penelitian
yang dilakukan oleh E. Susantini, M. Thamrin H., Isnawati, L. Lisdiana (2012) yang
bertujuan
mendeskripsikan kelayakan petunjuk praktikum genetika dan kunci yang telah
dikembangkan. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dan
pengembangan dengan menggunakan Three DModels, yaitu Design, Define,
dan Develop. Hasil penelitian menunjukkan petunjuk praktikum genetika
dan kunci memperoleh skor rerata ≥ 3,5 (rentang skala 1–4) yang dikategorikan
layak secara teoritis. Keterbacaan petunjuk praktikum genetika
memperoleh rerata respon positif 89% yang dikategorikan sangat baik.
8.
Penelitian
yang dilakukan oleh Sukarno,
Anna Permanasari dan Ida Hamidah
(2013) yang bertujuan untuk pengembangan keterampilan
proses sains peserta didik di sekolah-sekolah adalah sebuah kebutuhan. Di Jambi, pelatihan
dan pengembangan keterampilan proses sains peserta didik dalam kegiatan belajar ilmu
pengetahuan dan pembelajaran masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh
hasil survei yang dilakukan sepuluh tempat di SMP. Survei menunjukkan bahwa
kemampuan rata-rata keterampilan proses sains peserta didik masih agak rendah. Data menunjukkan
bahwa sebanyak 43,48% kategori rendah,
30,43% kategori sedang dan 26,09% kategori
tinggi.
9.
Penelitian
yang dilakukan oleh I Wayan Sadia (2008) yang merupakan
bagian dari penelitian pengembangan model dan perangkat pembelajaran untuk
meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMP dan SMA. Penelitian ini
dimaksudkan untuk (1) mendeskripsikan model/strategi pembelajaran yang domain
digunakan guru dalam proses pembelajaran; (2)
mendeskripsikan persepsi guru tentang
model/strategi pembelajaran yang berkontribusi secara signifikan dalam
mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa; dan (3) mendekripsikan
kualifikasi keterampilan berpikir kritis siswa.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) model pembelajaran yang paling dominan digunakan
guru dalam proses pembelajaran adalah model ekspositori; (2) menurut persepsi
guru, model-model pembelajaran yang dipandang akan memberi kontribusi yang
signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah pembelajaran
kontekstual, model pembelajaran berbasis masalah, model problem solving,
model sains-teknologi-masyarakat, model siklus belajar, dan model pembelajaran
berbasis penilaian portofolio; dan (3) keterampilan berpikir kritis awal siswa
SMP kelas IX dan siswa SMA kelas X masih berkategori rendah. Untuk siswa kelas
IX SMP skor rerata keterampilan berpikir kritis siswa adalah 42,15 dan untuk
siswa SMA kelas X skor reratanya adalah
49,38 (skor standar 100).
10.
Penelitian yang dilakukan oleh Mansoor Fahim (2012) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah konsep yang sulit untuk menentukan.
Ini melibatkan penalaran dan aktif pertimbangan apa
yang diterima daripada penerimaan
terus terang ide. Telah berpendapat bahwa ketika fokus pengujian adalah
pemeriksaan itu sendiri, kemampuan berpikir kritis peserta didik tidak dapat dikuatkan. Namun, jenis
dan format tes yang
berbeda dapat melibatkan peserta didik dalam berpikir
kritis aktif ketika mereka
tepat disiapkan. Dalam
makalah ini beberapa tes ini digunakan dalam literatur dan cara mereka melibatkan peserta didik dalam kegiatan
berpikir kritis dijelaskan. Makalah ini menyimpulkan bahwa tes yang berbeda dari bahasa
dapat dimanipulasi sehingga mereka
dapat melibatkan peserta
didik dalam kegiatan berpikir
kritis. Implikasi bagi guru
dan pengembang tes juga disediakan.
11.
Penelitian
yang dilakukan oleh Ermininingsih, Suciati Sudarisman, Suparmi (2013) yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pembelajaran berbasis masalah menggunakan lembar kerja terbimbing dan
lembar kerja bebas termodifikasi, keterampilan proses sains, kemampuan berpikir
analitis serta interaksinya terhadap prestasi belajar peserta didik. Teknik
pengumpulan data prestasi belajar kognitif, psikomotor, kemampuan berpikir
analitis dan keterampilan proses sains menggunakan metode tes. Prestasi belajar
afektif menggunakan angket dan lembar observasi. Berdasarkan hasil analisis
disimpulkan bahwa; 1) pembelajaran berbasis masalah menggunakan lembar kerja
terbimbing dan lembar kerja bebas termodifikasi berpengaruh signifikan terhadap
prestasi belajar, lembar kerja terbimbing lebih baik dari lembar kerja bebas
termodifikasi; 2) keterampilan proses sains berpengaruh secara signifikan
terhadap prestasi belajar 3) kemampuan berpikir analitis berpengaruh secara signifikan
terhadap prestasi belajar afektif dan psikomotor, tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap prestasi belajar kognitif; 4) tidak terdapat interaksi yang
signifikan antara penggunaan jenis lembar kerja dengan keterampilan proses
sains terhadap prestasi belajar; 5) tidak terdapat interaksi yang signifikan
antara penggunaan jenis lembar kerja dengan kemampuan berpikir analitis
terhadap prestasi belajar; 6) terdapat interaksi yang signifikan antara
keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir analitis terhadap prestasi
belajar; 7) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara jenis lembar kerja
dengan keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir
analitis terhadap prestasi belajar.
12.
Penelitian yang dilakukan oleh Farhad Golpour (2014) Fungsi penting dari berpikir kritis dalam pendidikan jelas oleh
banyak penelitian yang dilakukan di bidang ini. Tujuan utama dari artikel ini
adalah untuk menemukan hubungan antara tingkat berpikir kritis peserta didik
EFL Iran dan kinerja mereka pada mode yang berbeda dari menulis. Sampel
penelitian dipilih di antara mereka yang belajar bahasa Inggris di tingkat
lanjutan di Kish Institut Sains dan Teknologi, Rasht, Iran. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini termasuk kertas dan pensil tes Longman (2004)
untuk memastikan homogenitas peserta didik, pemikiran kritis kuesioner (Madu,
2004) dengan 30 item ke dalam 5-point jenis skala Likert yang digunakan untuk
membagi peserta didik menjadi tinggi dan rendah pemikir kritis dan skala
analitik Weir (1990) untuk menilai tulisan argumentatif dan deskriptif peserta.
Studi ini diikuti desain ex-post facto. Hasil statistik inferensial menunjukkan
perbedaan yang signifikan secara statistik antara kinerja penulisan pemikir
kritis tinggi dan rendah di kedua mode deskriptif dan argumentatif. Ditemukan
bahwa tulisan pemikir kritis tinggi 'lebih baik di kedua mode penulisan
dibandingkan dengan pemikir kritis rendah. Hasil penelitian ini membantu guru
untuk mempertimbangkan efek dari berpikir kritis pada proses pembelajaran.
Selain itu, para desainer silabus dan penulis tentu saja-book harus berpikir
tentang berpikir kritis sebagai unsur yang berpengaruh dalam program mereka.
C. Kerangka Berpikir
IPA terdiri dari 3 komponen yang harus
dikuasai peserta didik
yakni IPA sebagai proses, produk dan sikap ilmiah (Trianto, 2010: 137). Praktik
pembelajaran IPA di lapangan belum sepenuhnya mengarah pada pada proses ilmiah,
dan produk ilmiah. Selama ini pembelajaran IPA masih hanya berorientasi pada produk
belum mengarah pada proses ilmiah. Metode pembelajaran yang digunakan masih
didominasi menggunakan metode ceramah, sehingga peserta didik hanya belajar berupa menghapal
materi kemudian mengerjakan soal-soal.
Bahan ajar yang digunakan peserta didik adalah Buku pengayaan IPA dari MGMP. Peserta
didik belum dilatih merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang
percobaan, menganalisis data, menarik kesimpulan. Peserta didik langsung
disajikan kegiatan percobaan. Angket analisis kebutuhan guru meliputi: (1) guru
mengalami kesulitan dalam membelajarkan IPA secara terpadu; (2) guru yang
membutuhkan bahan ajar yang dapat memberdayakan keterampilan proses sains,
bahan ajar yang berisi sintaks berpikir kritis, dan bahan ajar yang memuat
proses, produk, sikap ilmiah; (3) guru yang membutuhkan bahan ajar IPA Terpadu.
Karakteristik modul dalam penelitian ini adalah
modul yang berbasis keterampilan proses sains dalam
pembelajaran IPA karena digunakan peserta didik untuk
menalar fenomena yang terjadi. Proses ilmiah tercermin ketika peserta didik melaksanakan
pembelajaran IPA yang meliputi mengamati,
menanya, mencoba, mengkomunikasikan dan menyimpulkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi
aktivitas keterampilan proses sains
peserta didik dan berpikir kritis adalah dengan
mengembangkan bahan ajar berupa modul. Modul membantu peserta didik untuk
belajar secara mandiri konten-konten IPA tanpa terpancang waktu pembelajaran
IPA di sekolah. Modul IPA yang dikembangkan memiliki basis keterampilan proses sains.
Salah satu keunggulan keterampilan
proses sains yaitu mampu membantu peserta didik
mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan
proses kognitif peserta didik.
Modul dikatakan layak jika dalam pengembangannya
telah divalidasi dari validator ahli diantaranya ahli
materi, ahli bahasa, ahli media, guru dan teman sejawat. Untuk mengetahui kualitas modul, dengan penggunaan modul berbasis keterampilan
proses sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta
didik setelah menggunakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains yang
dikembangkan
Berdasarkan hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs tahun pelajaran 2013/2014 menunjukkan
persentase penguasaan materi IPA pada
kemampuan uji menentukan jumlah kalor
yang diperlukan benda pada suatu pemanasan, SMP Negeri 1 Weru mendapatkan
rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM
IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan materi IPA
dengan Kemampuan uji: menentukan jumlah kalor yang diperlukan benda
pada suatu pemanasan (SMP Negeri 1 Weru: 45,80, kabupaten Sukoharjo: 61,35, Propinsi Jateng: 61,95, Nasional: 66,52), (Balitbang Kemdikbud, 2014). Sedangkan hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs tahun pelajaran 2014/2015 menunjukkan
persentase penguasaan materi IPA pada
kemampuan uji menentukan besaran kalor
jenis SMP Negeri 1 Weru mendapatkan rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase
penguasaan materi IPA dengan Kemampuan
uji: menentukan besaran kalor jenis (SMP
Negeri 1 Weru: 38,73, kabupaten Sukoharjo: 57,42, Propinsi Jateng: 56,64, Nasional: 62,05), (Balibang Kemdikbud, 2015). Dalam konten itu, masih diperlukannya buku penunjang pada materi seperti tersebut di atas
untuk meningkatkan pencapaian kompetensi peserta didik.
Pada kurikulum 2013 materi IPA sudah tersusun
secara terstruktur dalam KI dan KD. Pada KD kelas VII SMP semester 2 yaitu 3.7,
4.10 dan 4.11 menunjukkan adanya keterampilan proses sains dan kemampuan
berpikir kritis peserta didik dalam memahami konsep kalor. Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, memiliki kemampuan
berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan menganalisis, mensintesis, mengenal
permasalahan dan pemecahannya, menginferensi, dan mengevaluasi (Angelo, 1995: 6).
Uraian yang telah dipaparkan melatarbelakangi untuk dilakukan
penelitian tentang “Pengembangan Modul IPA Berbasis Keterampilan Proses Sains untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 1
Weru pada materi kalor dan perpindahannya”.