Wednesday 13 April 2016

BAB II Landasan Teori



BAB II

LANDASAN TEORI


A.      Kajian Teori

1.        Ilmu IPA
a.        Definisi Ilmu IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013: 212).
Hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu:
1)          Sikap yakni rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended.
2)          Proses yakni prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.
3)          Produk yakni berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.
4)          Aplikasi yakni penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam proses pembelajaran IPA keempat unsur itu diharapkan dapat muncul, sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru.
Kurikulum IPA tahun 2013 dinyatakan bahwa “Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SMP/MTs menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah” (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013: 213).

b.        Karakteristik Mata Pelajaran IPA
 Ilmu Pengatahuan Alam (sains) dapat ditinjau dan dipahami melalui hakikat sains. Beberapa saintis mencoba mendefinisikan sains sebagai berikut. Menurut Conant (1955), sains adalah bangunan atau deretan konsep dan skema konseptual (conceptual schemes) yang saling berhubungan sebagai hasil dari eksperimentasi dan observasi, yang berguna dan bernilai untuk eksperimentasi serta observasi selanjutnya. Menurut Bube dalam (Sumaji dkk, 1998: 161), sains adalah pengetahuan tentang alam yang diperoleh melalui interaksi dengannya, sedangkan menurut Dawson dalam Sumaji (dkk, 1998: 161), sains adalah aktivitas pemecahan masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di sekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengolahnya demi memenuhi kebutuhan.
Dua aspek yang penting dari sains menurut definisi-definisi tersebut adalah proses sains dan produk sains. Proses sains menurut Sund adalah eksperimen yang meliputi penemuan masalah dan perumusannya, perumusan hipotesis, merancang percobaan, melakukan pengukuran, manganalisis data, dan menarik kesimpulan, sementara produk sains menurut Dawson berupa bangunan sistematis pengetahuan (body of knowledge) sebagai hasil dari proses yang dilakukan oleh para saintis (Sumaji dkk, 1998: 161). Oleh karena itu, kedua hal tersebut perlu dijadikan pertimbangan oleh guru dalam memilih strategi mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan efektif dan efisien..



c.         Pembelajaran IPA
Belajar pada dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Perubahan tingkah laku menurut Witherington meliputi perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi. Sedangkan yang dimaksud dengan pengalaman dalam proses belajar tidak lain adalah interaksi antara individu dengan lingkungannya (Nana Sudjana, 1989: 5-6). Jadi, belajar tidak hanya meliputi perolehan ilmu pengetahuan, tetapi juga pengalaman dalam belajar. Bila terjadi proses belajar, maka bersama dengan itu terjadi pula proses mengajar. Menurut Oemar Hamalik (2003: 58), mengajar adalah aktivitas mengorganisasikan atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses belajar secara efektif. Usaha menciptakan belajar tersebut menjadi tanggung jawab guru.
Orlich (Sumaji dkk, 1998: 117), berpendapat suatu ciri pendidikan sains adalah bahwa sains lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. Menurut Sund & Trowbridge, sains merupakan kumpulan pengetahuan dan juga kumpulan proses. Di dalam belajar, selain untuk memperoleh ilmu pengetahuan, siswa juga belajar memecahkan masalah dengan cara yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran IPA merupakan serangkaian kegiatan belajar mengajar yang melibatkan guru IPA sebagai pengajar dan siswa sebagai peserta didik yang menuntut adanya perubahan dalam hal keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi, agar proses itu dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Dan karena para siswa dituntut untuk menguasai konsep-konsep IPA serta keterkaitannya, para guru IPA harus mempertimbangkan strategi pembelajaran yang sesuai untuk menunjang proses belajar mengajar tersebut.
Ilmu Pegetahuan Alam (IPA) atau sains dalam arti sempit sebagai disiplin dari physical sciences dan life sciences. IPA melatih anak berpikir kritis dan objektif. Pengetahuan yang benar artinya pengetahuan yang dibenarkan menurut tolak ukur kebenaran ilmu, yaitu rasional dan objektif. Rasional artinya masuk akal atau logis, dapat diterima oleh akal sehat. Obyekti artinya sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataan atau sesuai dengan pengalaman pengamatan melalui panca indera (Usman Samantowa, 2011: 4).
Fogarty (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas 2007: 8), dalam arti luas pembelajaran terpadu meliputi pembelajaran yang terpadu dalam satu disiplin ilmu, terpadu antarmata pelajaran, serta terpadu dalam dan lintas peserta didik. Pembelajaran terpadu akan memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik, karena dalam pembelajaran terpadu peserta didik akan memahami konsep-konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep-konsep lain yang sudah dipahami yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Menurut Fogarty terdapat sepuluh cara atau model dalam merencanakan pembelajaran terpadu. Kesepuluh cara atau model tersebut adalah: (1) model penggalan (fragmented), (2) model keterhubungan (connected), (3) model sarang (nested), (4) model urutan/rangkain (sequenced), (5) model bagian (shared), (6) model jaring laba-laba (webbed), (7) model galur/benang (threaded), (8) model keterpaduan (integrated), (9) model celupan/terbenam (immersed), dan (10) model jaringan (networked).
Dari kesepuluh model pembelajaran terpadu Fogarty (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas 2007: 8), tiga diantaranya sesuai untuk dikembangkan dalam pembelajaran IPA sesuai dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Ketiga model yang dimaksud adalah model keterhubungan (connected), model jaring laba-laba (webbed), dan model keterpaduan (integrated). Perbandingan deskripsi karakter, kelebihan dan keterbatasan ketiga model tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.   Perbandingan Diagram dan Deskripsi Tiga Model Pembelajaran Terpadu (Pusat Kurikulum)
Model
Karakteristik
Kelebihan
Keterbatasan
Keterpaduan
(integrated)
Dimulai dengan identifikasi konsep, keterampilan, sikap
yang overlap pada beberapa disiplin ilmu atau beberapa
bidang studi. Tema
berfungsi sebagai konteks pembelajaran.
Membelajarkan konsep pada beberapa KD yang beririsan atau
tumpang tindih , hanya konsep yang beririsan yang dibelajarkan.
Hubungan antar bidang studi jelas terlihat melalui kegiatan belajar. Pemahaman terhadap konsep lebih utuh, (holistik), lebih efisien, sangat
Kontekstual
Fokus terhadap
kegiatan belajar,
mengabaikan target penguasaan konsep.
Menurut wawasan yang luas dari guru
KD-KD yang konsepnya beririsan
tidak selalu dalam semester atau kelas
yang sama
Menuntut wawasan
dan penguasaan
materi yang luas
sarana prasarana, misalnya buku belum mendukung
Jaring laba-laba
(Webbed)
Menentukan tema yang dikembangkan subtemanya dengan memperhatikan kaitannya dengan disiplin ilmu atau bidang studi lain.
Membelajarkan beberapa KD yang
berkaitan melalui sebuah tema
Tema yang familiar membuat motivasi belajar dan memberikan
Pengalaman berpikir serta bekerja interdisipliner.
Pemahaman
terhadap konsep utuh kontekstual
dapat dipilih
tema-tema menarik yang
dekat dengan kehidupan
Sulit menemukan
Tema KD-KD yang konsepnya berkaitan tidak selalu dalam semester atau kelas
yang sama. Tidak mudah menemukan tema pengait yang tepat.
Keterhubungan
(connected)

Membelajarkan sebuah KD, konsep-konsep
pada KD tersebut dipertautkan dengan konsep pada KD yang lain
Melihat permasalahan tidak hanya dari satu bidang kajian. Pembelajaran
dapat mengikuti
KD-KD dalam SK
Kaitan antara bidang kajian sudah tampak tetapi masih didominasi oleh bidang kajian tertentu
(Sumber: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas 2007: 8)
Penelitian dengan modul IPA berbasis keterampilan proses sains menggunakan pembelajaran terpadu model connected. Pembelajaran terpadu model connected mempunyai karakteristik menghubungkan satu konsep dengan konsep, topik, keterampilan, ide yang lain tetapi masih dalam lingkup satu bidang. Peserta didik akan lebih mudah menemukan keterkaitan karena masih dalam lingkup satu bidang studi.
Model keterpaduan yang dipilih adalah model connected, ada sejumlah konsep yang saling bertautan dalam satu KD. Agar pembelajarannya menghasilkan kompetensi yang utuh, maka konsep-konsep itu saling dipertautkan (connected) dalam pembelajarannya. Pada model connected ini konsep pokok menjadi materi pembelajaran inti, sedangkan contoh dan terapan konsep yang dikaitkan berfungsi untuk memperkaya (Kemendikbud,  2013: 174). KD-KD dalam penelitian ini adalah KD 3.7. Memahami konsep suhu, pemuaian, kalor, perpindahan kalor, dan penerapannya dalam mekanisme menjaga kestabilan suhu tubuh pada manusia dan hewan serta dalam kehidupan sehari-hari, KD 4.10. Melakukan percobaan untuk menyelidiki suhu dan perubahannya serta pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud benda dan KD 4.11. Melakukan penyelidikan terhadap cara berisi penambahan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Kalor menjadi materi pembelajaran inti, sedangkan konsep yang dikaitkan adalah perpindahan kalor. Model connected pada materi kalor dalam penelitian ini tampak pada gambar 2.1.


 







Gambar 2.1. Model Connected Materi Kalor

2.      Modul
a.      Pengertian Modul
Sebuah modul harus dapat dijadikan bahan ajar sebagai pengganti fungsi pendidik. Menurut Ridwan (2013: 183) Modul adalah suatu proses pembelajaran mandiri mengenai suatu satuan bahasan tertentu dengan menggunakan bahan ajar yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru.
Hamdani (2011: 219) Modul adalah salah satu bentuk bahan ajar berupa bahan cetakan. Modul pembelajaran biasanya digunakan dalam perkuliahan pada perguruan tinggi dengan pembelajaran jarak jauh, (bukan tatap muka). Ada beberapa pengertian tentang modul antara lain sebagai berikut:
1)      Modul adalah alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan materi pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar, latihan dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dan dapat digunakan secara mandiri.
2)      Modul adalah alat pembelajaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan belajar pada mata kuliah tertentu untuk keperluan proses pembelajaran tertentu, sebuah kompetensi atau sub kompetensi yang dikemas dalam satu modul secara utuh (self contained) mampu membelajarkan diri sendiri atau dapat digunakan untuk belajar secara mandiri (self instructional). Penggunaan modul tidak bergantung pada media lain, memberikan kesempatan mahasiswa untuk berlatih dan memberikan rangkuman, memberikan kesempatan melakukan tes sendiri (self test) dan mengakomodasikan kesulitan mahasiswa dengan memberikan tindak lanjut dan umpan balik.
Dari kedua pendapat tentang modul diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak yang disusun secara sistematis memuat materi pembelajaran, metode, tujuan pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar atau indikator pencapaian kompetensi, petunjuk kegiatan belajar mandiri (self instructional) dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji diri sendiri melalui latihan yang disajikan dalam modul tersebut.
b.      Tujuan dan Manfaat Penyusunan Modul
Salah satu tujuan penyusunan modul adalah menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, yakni bahan ajar sesuai dengan karakteristik materi ajar dan karakteristik peserta didik, serta setting atau latar belakang lingkungan sosialnya.
Hamdani (2011: 220) Modul memiliki manfaat, baik ditinjau dari kepentingan peserta didik maupun dari kepentingan guru. Bagi peserta didik, modul bermanfaat, antara lain: 1) Peserta didik memiliki kesempatan melatih diri belajar secara mandiri, 2) Belajar menjadi lebih menarik karena dapat dipelajari di luar kelas dan di luar jam pembelajaran, 3) Berkesempatan mengekpresikan cara-cara belajar sesuai dengan kemampuan dan minatnya, 4) Berkesempatan menguji kemampuan diri sendiri dengan mengerjakan latihan yang disajikan dalam modul, 5) Mampu membelajarkan diri sendiri, dan 6) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya. Sedangkan Bagi guru, penyusunan modul bermanfaat karena: 1) Mengurangi kebergantungan terhadap ketersediaan buku teks, 2) Memperluas wawasan karena disusun dengan menggunakan berbagai referensi, 3) Menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman dalam menulis bahan ajar, 4) Membangun komunikasi yang efektif antara dirinya dan peserta didik karena pembelajaran tidak harus berjalan secara tatap muka, dan 5) Manambah angka kredit jika dikumpulkan menjadi buku dan diterbitkan.
c.       Prinsip-prinsip Penyusunan Modul Pembelajaran IPA
Hamdani (2011: 221) sebagaimana bahan ajar yang lain, penyusunan modul hendaknya memerhatikan berbagai prinsip yang membuat modul tersebut dapat memenuhi tujuan penyusunanya. Prinsip yang harus dikembangkan antara lain:
1)        Disusun dari materi yang mudah untuk memahami yang lebih sulit, dan dari yang konkret untuk memahami yang semikonkret dan abstrak,
2)        Menekankan pengulangan untuk memperkuat pemahaman,
3)        Umpan balik yang positif akan memberikan penguatan terhadap peserta didik,
4)        Memotivasi adalah salah satu upaya yang dapat menentukan keberhasilan belajar, dan
5)        Latihan dan tugas untuk menguji diri sendiri.
d.      Karakteristik Modul Pembelajaran IPA
Model pembelajaran pasti memiliki suatu karakteristik tertentu yang diperlukan dalam menyusun modul. Hal ini sesuai dengan Daryanto (2013: 9) yang menyatakan bahwa karakteristik yang diperlukan dalam menyusun modul adalah Belajar mandiri (Self Instruction) yaitu adanya modul peserta didik dapat belajar dengan mandiri tanpa tergantung pada guru , Utuh (Self Contained) yang berarti keseluruhan materi yang utuh terdapat dalam satu modul, yaitu dari satu unit kompetensi. Sehingga materi pembelajaran dapat dipahami secara tuntas, Berdiri sendiri (Stand Alone) yang berarti modul dikembangkan tidak bergantung dengan media pembelajaran yang lain sehingga hanya dengan menggunakan modul peserta didik dapat memahami materi dengan tuntas, Dapat disesuaikan (Adaptif) yaitu pengembangan modul hendaknya dapat mengikuti dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta fleksibel digunakan dan Bersahabat/akrab (User friendly) yaitu pembuatan modul hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana, istilah umum dan mudah dimengerti sehingga memudahkan pembaca dalam memakainya.
e.       Komponen-komponen Penyusun Modul
Komponen-komponen utama penyusun modul (Vembriarto, 1985: 27) sebagai berikut:
1)      Tinjauan mata pelajaran
Tinjauan mata pelajaran adalah paparan umum mengenai keseluruhan pokok-pokok isi mata pelajaran yang mencakup: a. deskripsi mata pelajaran, b. kegunaan mata pelajaran, c. kompetensi dasar, d. bahan pendukung lainnya seperti DVD, kaset, dll, dan e. petunjuk belajar
2)      Pendahuluan
Pendahuluan suatu modul merupakan pembukaan pembelajaran suatu modul. Dalam pendahuluan, akan memuat hal-hal sebagai berikut: a. cakupan isi modul, b. indikator yang ingin dicapai, c. deskripsi perilaku awal, d. relevansi, e. urutan butir sajian modul, dan f. petunjuk belajar berisi panduan modul tersebut.
3)      Kegiatan belajar
Merupakan inti dalam pemaparan materi pelajaran. Di dalam kegiatan belajar terdapat uraian atau penjelasan secara rinci tentang isi pelajaran yang diikuti dengan contoh-contoh kongkrit.
4)      Latihan
Latihan adalah berbagai bentuk kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh peserta didik setelah membaca uraian sebelumnya. Tujuan latihan ini agar peserta didik benar-benar belajar secara aktif dan akhirnya menguasai konsep yang sedang dibahas dalam kegiatan belajar.
5)      Rambu-rambu jawaban latihan
Merupakan hal-hal yang harus diperhatikan oleh peserta didik dalam mengerjakan soal-soal latihan. Kegunaan rambu-rambu jawaban ini adalah untuk mengarahkan pemahaman peserta didik tentang jawaan yang diharapkan dari pertanyaan atau tugas dalam latihan untuk mendukung tercapainya kompetensi pembelajaran.
6)      Rangkuman
Merupakan inti dari uraian materi yang disajikan pada kegiatan belajar dari suatu modul, yang berfungsi menyimpulkan dan memantapkan pengalaman belajar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya konsep atau skema baru dalam pikian peserta didik.
7)      Tes formatif
Pada setiap modul selalu disertai lembar evaluasi yang biasanya berupa tes. Evaluasi ini dilakukan untuk mengukur apakah tujuan yang dirumuskan sudah tercapai atau belum. Tes formatif merupakan tes untuk menguku penguasaan peserta didik setelah suatu pokok bahasan selesai dipaparkan dalam satu kegiatan belajar terakhir.
8)      Kunci jawaban tes formatif
Kunci jawaban tes formatif pada umumnya diletakkan di bagian paling akhir suatu modul, dengan tujuan agar peserta didik benar-benar berusaha mengerjakan tes tanpa melihat jawaban terlebih dahulu.
Jadi komponen dasar dalam pembuatan modul minimal terdiri dari (a) tujuan yang harus dicapai, (b) petunjuk penggunaan, (c) kegiatan belajar, (d) rangkuman materi, (e) tugas dan latihan, (f) sumber bacaan, (g) item-item tes, (h) kriteria keberhasilan, dan (i) kunci jawaban. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penelitian pengembangan yang dilakukan menggunakan unsur-unsur modul meliputi, judul modul, petunjuk umum, tujuan yang harus dicapai, krtiteria keberhasilan, peta konsep, materi pembelajaran, rangkuman materi, tugas dan latihan, soal evaluasi, kunci jawaban, glosarium dan daftar pustaka.
Menurut Daryanto (2010) dalam usaha memanfaatkan media berupa modul pembelajaran berbasis keterampilan proses sains yang digunakan sebagai alat bantu mengajar dari pengalaman Edgar Dale dalam mengadakan klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari paling kongkrit hingga ke abstrak yang kemudian disebut dengan kerucut pengalaman (cone of experience). Kerucut pengalaman Dale merupakan salah satu gambaran yang paling banyak digunakan sebagai acuan teoritis dalam pemanfaatan media dalam proses pembelajaran. Dasar pengembangan kerucut pengalaman Dale bukan berdasarkan tingkat kesulitan namun berdasarkan pada tingkat keabstrakan (jumlah jenis indera yang terlibat dalam pembelajaran). Secara lebih jelas tentang kerucut pengalaman Dale digambarkan Gambar 2.1.








 














Gambar 2.1. Kerucut Pengalaman Edgar Dale
Kerucut pengalaman ini dianut secara luas untuk menentukan alat bantu atau media apa yang sesuai agar siswa memperoleh pengalaman belajar secara mudah. Kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale memberikan gambaran bahwa pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dapat melalui proses perbuatan atau pengalaman sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati, dan mendengarkan melalui media. Semakin konkret peserta didik mempelajari bahan pengajaran, contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak pengalaman yang diperolehnya. Sebaliknya semakin abstrak peserta didik memperoleh pengalaman, contohnya hanya mengandalkan bahasa verbal, maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh peserta didik .
Pengalaman belajar langsung akan memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu, karena melibatkan indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba yang dikenal dengan learning by doing (belajar dengan melakukan).
f.       Langkah-langkah Penyusunan Modul
Terdapat empat langkah yang harus dilakukan dalam menyusun modul, sebagai berikut:
1)      Analisis kurikulum
Tahapan ini dilakukan untuk menentukan materi apa yang membutuhkan bahan ajar. dalam hal ini, analisis dilakukan dengan cara melihat inti materi yang diajarkan, serta kompetensi dan hasil belajar yang harus dimiliki oleh peserta didik.
2)      Menentukan judul modul
Untuk menentukan judul modul, perlu mengacu pada kompetensi dasar atau materi pokok yang ada di dalam kurikulum. Satu kompetensi dasar dapat dijadikan satu judul modul apabila kompetensi dasar tersebut tidak terlalu besar.
3)      Memberi kode pada modul
4)      Penulisan modul
Ada lima hal penting yang harus ada dalam modul, yaitu: a. perumusan kompetensi dasar yang harus dikuasai, b. penentuan alat evaluasi atau penilaian, c. penyusun materi, d. urutan pengajaran, dan e. struktur bahan ajar.
g.      Kelebihan dan Kekurangan Modul IPA
Belajar dengan menggunakan modul juga sering disebut dengan belajar mandiri. Bentuk kegiatan belajar mandiri ini mempunyai kekurangan-kekurangan sebagai berikut: 1) Biaya pengembangan bahan tinggi dan waktu yang dibutuhkan lama, 2) Menentukan disiplin belajar yang tinggi yang mungkin kurang dimiliki oleh peserta didik pada umumnya dan peserta didik yang belum matang pada khususnya, 3) Membutuhkan ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator untuk terus menerus mamantau proses belajar siswa, memberi motivasi dan konsultasi secara individu setiap waktu peserta didik membutuhkan.
Beberapa hal yang memberatkan belajar dengan menggunakan modul, yaitu: 1) Kegiatan belajar memerlukan organisasi yang baik, dan 2) Selama proses belajar perlu diadakan beberapa ulangan/ujian, yang perlu dinilai sesegera mungkin
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran menggunakan modul memiliki beberapa kelemahan yang mendasar yaitu memerlukan biaya yang cukup besar serta waktu yang lama dalam pengadaan atau pengembangan modul itu sendiri, dan membutuhkan ketekunan tinggi dari guru sebagai fasilitator untuk terus memantau proses belajar peserta didik.
Beberapa keuntungan jika belajar menggunakan modul, antara lain : 1) Motivasi peserta didik dipertinggi karena setiap kali peserta didik mengerjakan tugas pelajaran dibatasi dengan jelas dan yang sesuai dengan kemampuannya, 2) Sesudah pelajaran selesai guru dan peserta didik mengetahui benar peserta didik yang berhasil dengan baik dan mana yang kurang berhasil, 3) Peserta didik mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuannya, 4) Beban belajar terbagi lebih merata sepanjang semester, dan 5) Pendidikan lebih berdaya guna.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar menggunakan modul sangat banyak manfaatnya, peserta didik dapat bertanggung jawab terhadap kegiatan belajarnya sendiri, pembelajaran dengan modul sangat menghargai perbedaan individu, sehingga peserta didik dapat belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya, maka pembelajaran semakin efektif dan efisien.

3.        Keterampilan Proses Sains
Ozgelen (2012: 283) menyatakan “Science process skills (SPS) are the thinking skills that scientists use to construct knowledge in order to solve problems and formulate results”. Keterampilan proses sains adalah kemampuan berpikir yang digunakan untuk membangun pengetahuan untuk memecahkan masalah dan merumuskan hasil. Karamustafaoglu (2011: 26) berpendapat bahwa “Science process skills are beneficial in that students can realize by participating in inquiry inthe science laboratory. Science process skills are inseparable in practice from the conceptual understanding that is involved in learning and applying science”. Keterampilan proses sains berguna karena peserta didik dapat menyadari dengan berpartisipasi dalam penyelidikan di laboratorium sains. Keterampilan proses sains tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konseptual dalam proses pembelajaran sains. Oleh karena itu, sesuai dengan pendapat Rauf, et. al (2013: 54) “these skills need to be realized by teachers that it is important in the learning of science” keterampilan ini perlu dipahami oleh guru karena merupakan hal penting dalam pembelajaran sains. Jack (2013: 16) menyatakan bahwa “Using science process skills is an important indicator of transfer of knowledge….”. Menggunakan keterampilan proses sains merupakan indikator penting dari transfer pengetahuan. Ongowo & Indoshi (2013: 714) berpendapat bahwa “science process skills help the students to develop a sense of responsibility in their own learning, increase permanency of learning as well as teach them research methods”. Keterampilan proses sains membantu peserta didik untuk mengembangkan rasa tanggung jawab dalam pembelajaran serta meningkatkan betapa pentingnya metode penelitian dalam proses pembelajaran.
Bailer, et. al (2006: 5) mengartikan keterampilan proses sains:
A process skills approach to science instruction means that learning is focused on intellectual skills rather than on content. Content, however, is not excluded from this approach. Process skills are practiced in scientific situation which must necessarily deal with content. Books serve as references but the emphasis is on hands-on activities with concrete material. Students skilled in the science processes will be able to conduct investigations on topic of their own choosing with minimal teacher guidance.

Hal ini berarti bahwa keterampilan proses memfokuskan pada keterampilan intelektual dibandingkan dengan materi atau isi. Keterampilan proses lebih menekankan praktik pada situasi pembelajaran yang kemudian diperoleh isi atau pengetahuan. Menggunakan buku sebagai referensi untuk melakukan keterampilan peserta didik dengan panduan minimal guru, keterampilan proses peserta didik akan terkondisikan dengan melakukan investigasi terhadap topik yang dihadirkan.
Rezba, et. al (1995: ix) berpendapat bahwa: “the goals for science educations as ways of thingking and investigating as well as a body of knowledge. Ways of thinking in science are called the process skills”. Tujuan dari pendidikan IPA adalah jalan berfikir dan investigasi yang berperan sebagai batang tubuh dari pengetahuan dimana keduanya tersebut merupakan keterampilan proses.
Dari beberapa pengertian tersebut, maka keterampilan proses sains adalah keterampilan yang melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual dan sosial. Keterampilan ini digunakan untuk mengkaji fenomena alam dengan cara-cara tertentu yaitu menggunakan metode ilmiah untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu itu selanjutnya, sehingga dari fakta yang ada dapat menemukan suatu konsep, prinsip, hukum dan teori, atau untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya.
Keterampilan proses sendiri terdiri dari beberapa karakteristik. Cruz (2014: 75) berpendapat bahwa “… grouped process skills into two types-basic and integrated. The basic (simpler) process skills provide a foundation for learning the integrated (more complex) skills”. Keterampilan proses sains dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu dasar dan terintegrasi. Keterampilan proses dasar memberikan dasar atas keterampilan proses terintegrasi.
Bundu (2006: 12), yang mengatakan bahwa pengkajian sains dari segi proses disebut juga keterampilan proses sains (science process skills) atau disingkat saja dengan proses sains. Proses sains adalah sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena alam dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu itu selanjutnya. Dengan keterampilan proses peserta didik dapat mempelajari sains sesuai dengan apa yang para ahli sains lakukan, yakni melalui pengamatan, klasifikasi, inferensi, merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen. Rustaman (2005: 80-81) membagi keterampilan proses sain menjadi sembilan indikator yaitu: melakukan pengamatan, menafsirkan pengamatan atau inferensi, mengelompokkan atau klasifikasi, prediksi/meramalkan, berkomunikasi/mengkomunikasikan hasil, berhipotesis, merencanakan percobaan, menerapkan konsep, dan mengajukan pertanyaan.
Rezba, et. al (1995: v) mengemukakan bahwa keterampilan proses sains terdiri dari dua bagian, yakni keterampilan proses sains dasar dan keterampilan proses sains terintegrasi. Keterampilan proses sains dasar terdiri dari observing, communicating, classifying, measuring metrically, inferring, predicting. Sedangkan keterampilan proses terintegrasi terdiri dari identifying variables, constructing a table of data, constructing a graph, describing relationships between variables, acquiring and processing your own data, constructing hypotheses, defining variables operationally, designing investigations, experimenting.
Berdasarkan pendapat di atas, beberapa macam pembagian tersebut, maka dalam penelitian ini membagi keterampilan proses sains dasar meliputi: mengamati, mengelompokkan, menafsirkan/inferensi, meramalkan/prediksi, mengukur. Keterampilan proses sains terintegrasi meliputi: merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menerapkan konsep, mengkomunikasikan hasil.
Penjabaran dari kelima keterampilan proses dasar tersebut dapat dilihat pada penjelasan sebagai berikut:
a. Observasi/pengamatan
Keterampilan melakukan observasi adalah kemampuan menggunakan panca indera dalam memperoleh data atau informasi. Kemampuan melakukan observasi merupakan keterampilan yang paling mendasar dalam sains, dan penting untuk mengembangkan ketrampilan proses yang lainnya. Mengamati objek/benda dan gejala alam melalui panca indera: penglihatan, pendengaran, pembau, peraba dan perasa akan memperoleh informasi yang akan mendorong rasa ingin tahu untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Keterampilan observasi termasuk kegiatan berikut (Osman, 2012: 4):
1) Menggunakan beberapa indera
2) Memperhatikan bagian kecil dari objek dan lingkungan
3) Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
4) Membedakan dimana peristiwa itu terjadi
5) Menggunakan bantuan untuk mengetahui bagian kecil
Jadi, dalam melakukan pengamatan berarti menggunakan panca indera, dapat juga menggunakan bantuan alat untuk memperoleh informasi atau data tentang berbagai benda dan peristiwa.
b. Mengelompokan/klasifikasi
Cruz (2014: 76) menyatakan “Classifying - grouping or ordering objects or events into categories based on properties or criteria” maksudnya adalah mengelompokkan suatu benda atau peistiwa sesuai dengan kriteria yang ada. Pengelompokan obyek atau peristiwa adalah cara memilah objek berdasarkan kesamaan, perbedaan, dan hubungan. Beberapa perilaku peserta didik dalam melakukan klasifikasi antara lain: (a) pengidentifikasian suatu sifat umum, dan (b) memilah-milahkan dengan menggunakan dua sifat atau lebih.
Jadi, klasifikasi adalah kegiatan mengorganisasikan benda-benda dan kejadian-kejadian ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan suatu sistem, atau ide pengorganisasian. Pengelompokan objek atau peristiwa adalah cara memilah objek berdasarkan kesamaan, perbedaan, dan hubungan. Beberapa perilaku peserta didik dalam melakukan klasifikasi antara lain: (a) pengidentifikasian suatu sifat umum, dan (b) memilah-milahkan dengan menggunakan dua sifat atau lebih.
c. Menafsirkan/inferensi
Menginferensi adalah menggunakan logika untuk membuat asumsi-asumsi dari apa yang kita amati dan tanyakan. Kemampuan peserta didik dalam membedakan antara mengobservasi dan menginferensi merupakan hal yang amat penting dan mendasar (Abruscato & DeRosa, 2010: 50).
Rezba, et. al (1995: 71) mengartikan penginferensian bahwa: an inference is an explanation or interpretation of an observation. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa inferensi atau menyimpulkan merupakan penjelasan atau interpretasi dari hasil pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa perilaku yang dikerjakan peserta didik pada saat penginferensian antara lain: (a) mengaitkan pengamatan dengan pengalaman atau pengetahuan terdahulu, dan (b) mengajukan penjelasan-penjelasan untuk pengamatan-pengamatan.
Menginferensi adalah penarikan kesimpulan dan penjelasan/interpretasi dari hasil pengamatan/observasi. Jika observasi adalah pengalaman yang diperoleh melalui satu atau lebih alat indera, maka inferensi adalah penafsiran atau penjelasan terhadap hasil observasi tersebut. Dengan mengamati pola dari suatu peristiwa dapat disusun sebuah hipotesis.
d. Meramalkan/prediksi
Menurut Rezba, et. al (1995: 89) prediksi adalah sebuah ramalan atas apa yang akan teramati pada masa datang. Kemampuan untuk membuat predisksi tentang suatu benda atau peristiwa membantu kita untuk menentukan perilaku yang sesuai pada lingkungan kita. Memprediksi sangat terkait dengan mengamati, menginferensi, dan mengklasifikasi; sebuah keterkaitan yang menakjubkan keterampilan yang satu bergantung kepada keterampilan yang lain. Prediksi dilakukan berdasarkan pengamatan yang saksama dan inferensi yang dihasilkan dari hubungan antara peristiwa-peristiwa yang teramati.
Membuat ramalan atau prediksi adalah membuat dugaan secara logis tentang hasil dari kejadian masa depan. Ramalan ini didasarkan pada pengamatan yang baik dan kesimpulan yang dibuat tentang kejadian kejadian yang diamati. Beberapa perilaku peserta didik dalam meramalkan antara lain: (a) penggunaan data dan pengamatan yang sesuai, (b) penafsiran generalisaisi tentang pola-pola, dan (c) pengujian kebenaran dari ramalan-ramalan yang sesuai..
e. Mengukur/pengukuran
Mengukur dapat diartikan sebagai kegiatan membandingkan yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebuah informasi hasil pengukuran berisi dua bagian yaitu angka untuk memberitahu berapa banyak, dan nama satuan untuk memberitahu kita berapa banyak dengan dengan rujukan apa. Beberapa perilaku peserta didik dalam melakukan pengukuran antara lain: a) pengukuran panjang, volume, massa, temperatur, dan waktu dalam satuan yang sesuai, serta b) memilih alat dan satuan yang sesuai untuk tugas pengukuran tertentu tersebut.
Keterampilan proses sains yang terintegrasi mencakup:
a. Merumuskan hipotesis
Sebuah eksperimen biasanya berawal dari sebuah masalah yang harus dipecahkan, sebuah pertanyaan yang harus dijawab, atau sebuah keputusan yang harus dibuat. Dengan mengubah salah satu faktor dalam sebuah penyelidikan secara sengaja, maka hasilnya faktor yang lain akan berubah. Sebelum penyelidikan dan eksperimen dilakukan, sebuah hipotesis seringkali dinyatakan. Hipotesis adalah prediksi tentang hubungan antara variabel-variabel. Hipotesis menyediakan petunjuk ketika peneliti hendak mengambil data dalam penelitian (Rezba, et. al, 1995: 219). Jadi, hipotesis yaitu membuat suatu prediksi yang didasarkan pada bukti-bukti penelitian dan penyelidikan sebelumnya.
b. Merencanakan percobaan
Merencanakan percobaan merupakan kemampuan menentukan obyek yang telah diteliti, alat dan bahan yang akan digunakan, menentukan variabel yang akan diamati dan diukur dan menentukan langkah-langkah percobaan yang akan ditempuh (Rustaman, 2005: 81).
c. Mengajukan pertanyaan
Kemampuan mengajukan pertanyaan dapat berupa meminta penjelasan, tentang apa, mengapa, bagaimana, atau menanyakan latar belakang hipotesis. Dalam hal ini, peserta didik bukan hanya asal mengajukan pertanyaan tapi melibatkan pikiran. Indikatornya harus memunculkan sesuatu yang mengherankan, mustahil, tidak biasa/kontradiktif. (Rustaman, 2005: 81 dan 164)
d. Menerapkan konsep
Menurut Rustaman (2005 : 81) kemampuan menggunakan konsep yang telah dimiliki untuk memecahkan masalah tertentu atau menjelaskan suatu peristiwa baru. Indikator menerapkan konsep ini adalah: menghitung, menjelaskan peristiwa baru dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki, menerapkan konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru.
e. Mengkomunikasikan hasil
Rezba, et. al (1995: 15) dalam bukunya memaparkan bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang jelas, akurat, dan tidak ambigu dan menggunakan keterampilan yang perlu dikembangkan dan dipraktikkan. Hasil pengukuran yang diperoleh saat penyelidikan dilakukan disebut dengan data. Hasil pengukuran berupa data dapat diinterpretasikan ke dalam tabel dan grafik. Seperti pendapat Rezba, et. al (1995: 177) nomor pelari dan jarak yang ditempuh dapat disajikan dengan sebuah grafik. Grafik ini akan memudahkan penyajian data berdasarkan hasil percobaan. Pembaca bisa melihat hubungan antara nomor pelari dengan jarak yang ditempuh masing-masing pelari secara mudah.
Jadi, mengkomunikasikan adalah mengatakan apa yang diketahui dengan ucapan kata-kata, tulisan, gambar, demonstrasi, atau grafik. Peserta didik harus berkomunikasi dalam rangka membagikan hasil pengamatan kepada orang lain.

4.        Kemampuan Berpikir Kritis
a.        Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir adalah suatu proses untuk mengolah pengetahuan yang kita terima melalui panca indera, dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Menurut Halpen (1996) dalam Hadi (2009: 30) berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses berpikir tersebut dilalui setelah mengetahui dan menentukan tujuan, mengacu langsung kepada sasaran yang merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, menganalisis masalah, mengumpulkan berbagai kemungkinan, merumuskan kesimpulan apakah sudah sesuai dengan teori atau tidak.
Elaine Johnson (2002: 183) berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Cece Wijaya (1996: 72) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah suatu kegiatan atau suatu proses menganalisis, menjelaskan, mengembangkan atau menyeleksi ide, mencakup mengkategorisasikan, membandingkan dan melawankan (contrasting), menguji argumentasi dan asumsi, menyelesaikan dan mengevaluasi kesimpulan induksi dan deduksi, menentukan prioritas dan membuat pilihan.
Ennis (1985) seperti dikutip oleh Morgan (1995) mendefinisikan berpikir kritis sebagai cara berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Sedangkan Hendra Surya (2013: 159) menyatakan berpikir kritis sebagai sebuah proses aktif dan cara berpikir secara teratur atau sistematis untuk memahami informasi yang mendalam, sehingga membentuk sebuah keyakinan kebenaran informasi yang didapat atau pendapat yang disampaikan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis  merupakan sesuatu yang mempunyai makna yang harus dibangun pada diri siswa sehingga menjadi suatu watak atau kepribadian yang terarah dalam kehidupan memecahkan segala persoalan hidupnya dengan cara mengidentifikasi setiap informasi yang diterimanya lalu mampu untuk mengevaluasi dan kemudian menyimpulkannya secara sistematis dengan mengemukakan pendapat dengan cara yang terorganisasi.

b.      Komponen dan Langkah-langkah Berpikir Kritis
Selanjutnya, Ennis (1985) dalam Santoso (2009: 34), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas diantaranya adalah:
1)        Memberikan penjelasan sederhana meliputi, memusatkan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
2)        Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan sumber yang relevan atau tidak dan mengamati, serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3)        Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
4)        Memberikan penjelasan lebih lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan mendefinisikan pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
5)        Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
Indikator-indikator tersebut dalam prakteknya dapat menjadi suatu kesatuan yang padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah menjadi hanya beberapa indikator saja. Penemuan indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui aspek-aspek perilaku yang terungkap pada definisi berpikir kritis.
Untuk mengetahui kemampuan berpikir peserta didik, dapat dilihat dari kemampuan didik dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan ranah kognitif menurut taksonomi Bloom. Para ahli penilaian membagi penilaian kognitif peserta didik menjadi enam unsur, yakni 1) mengingat (remembering), 2) memahami (understanding), 3) menerapkan (applying), 4) menganalisis (analyzing), 5) mengevaluasi (evaluating), dan 6) mengkreasi (creating) (Anderson and Krathwohl. 2001: 66).
Bagi Bloom, 1956 (dalam Filsaime, 2008) berpikir kritis memiliki arti yang sama dengan tingkat berpikir yang lebih tinggi, terutama menganalisis dan mengevaluasi (taksonomi Bloom pada versi lama).
1)        Menganalisis
Pada tingkat menganalisis, peserta didik dituntut mampu menganalisis informasi yang masuk dan menguraikan keterkaitan hubungan dari satu bagian ke bagian yang lain. Proses kategori kognitif yakni membedakan (differentiating), mengatur (organizing), dan melengkapi (attributing) (Anderson and Krathwohl. 2001: 79). Perbedaan terjadi ketika seorang peserta didik mampu membedakan informasi yang penting dengan informasi yang kurang relevan. Mengatur melibatkan pengidentifikasian elemen-elemen komunikasi atau situasi dan mengenali keterkaitan hubungan yang jelas.  Melengkapi terjadi ketika seorang peserta didik dapat mengetahui sudut pandang, bias, nilai, atau kebutuhan yang mendasari komunikasi (Anderson and Krathwohl. 2001: 82).
2)        Mengevaluasi
Menurut Anderson and Krathwohl (2001: 83) mengevaluasi adalah mendefinisikan sebagai pembuat keputusan yang didasarkan pada standar dan kriteria. Kriteria yang paling sering digunakan adalah kualitas, keefektifan, keakuratan, dan kekonsistenan.
Menurut Screven dan Paul (1996) dan Angelo (1995) dalam Filsaime (2008: 56) memandang berpikir kritis sebagai proses disiplin cerdas dari konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis, evaluasi aktif, dan berketerampilan yang dikumpulkan dari, observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi sebagai sebuah penuntun menuju kepercayaan dan aksi.
Menurut Angelo (1995: 6) karakteristik berpikir kritis meliputi, menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menginferensi dan mengevaluasi.
Pembagian indikator berpikir kritis menurut Angelo dipandang sesuai dengan kemampuan berpikir seperti yang terdapat di dalam Taksonomi Bloom yang memiliki kesamaan yakni pada menganalisis, dan mengevaluasi.
Berdasarkan uraian di atas, indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1)        Kemampuan Mengenal dan Memecahkan Masalah
Peserta didik yang berpikir kritis akan mampu mengetahui masalah yang dihadapi, memahami penyebab dari masalah tersebut, dan mampu membangun konsep secara mandiri untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker, 2001) dalam Hadi (2009; 36).
Misal dalam menyelesaikan suatu kasus yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik akan memahami dan mengetahui inti pokok permasalahan pada kasus tersebut, sehingga siswa dapat membuat pola-pola suatu konsep.
2)        Kemampuan Menginferensi
Kemampuan menginferensi adalah kemampuan menjelaskan suatu pengamatan atau pernyataan. Inferensi dapat masuk akal (logis) atau tidak masuk akal. Inferensi masuk akal adalah inferensi yang dapat diterima atau dimengerti oleh orang yang mengetahui topik permasalahannya, sedangkan inferensi yang tidak masuk akal adalah membuat kesimpulan yang terlalu jauh dari bukti yang ada (Nur. 2011: 5).
Misal pada saat melakukan pengamatan yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik akan membuat suatu kesimpulan sementara berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
3)        Kemampuan Menganalisis
Menurut Filsaime (2008; 66) Analisis adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensial yang dimaksud dan aktual antara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, konsep-konsep, deskripsi-deskripsi atau bentuk representasi lainnya untuk mengekspresikan kepercayaan-kepercayaan, penilaian, pengalaman-pengalaman, alasan-alasan, informasi atau opini.
Kemampuan menganalisis adalah kemampuan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara dua pendekatan pada solusi sebuah masalah yang diberikan (Filsaime. 2008: 66).
Misal, setelah melakukan pengamatan yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik mengidentifikasi suatu data yang telah diperoleh dari pengamatan menjadi bagian yang lebih terperinci.
4)        Kemampuan Mensintesis
Kemampuan mensintesis merupakan keterampilan menggabungkan atau menyusun kembali (reorganize) hal-hal yang spesifik agar dapat mengembangkan suatu struktur baru (Arikunto. 2013: 133). Keterampilan mensintesis adalah keterampilan membuat suatu pernyataan dari apa yang telah dipelajari dari suatu percobaan atau pengamatan.
Misal, setelah melakukan pengamatan yang berkaitan dengan IPA. Peserta didik membuat suatu kesimpulan secara umum dengan cara mengkaitkan pengamatan yang telah dilakukan dengan informasi yang telah diperoleh menjadi suatu ide-ide baru.
5)        Kemampuan Mengevaluasi atau Menilai
Kemampuan mengevaluasi adalah kemampuan memberikan suatu keputusan tentang nilai yang diukur dengan menggunakan kriteria yang ada. Pada tahap ini peserta didik mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif dalam menilai suatu fakta atau konsep. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu (Harjasujana, 1987: 44) dalam Hadi (2009; 37).
Misal, terdapat sebuah kasus berkaitan IPA. Peserta didik mampu memberikan keputusan terhadap kasus tersebut berdasarkan kriteria-kriteria atau standar tertentu.
Kemampuan berpikir kritis bisa dimunculkan kepada peserta didik dengan cara dilatih. Adapun langkah berpikir kritis menurut Arthur L. Costa dalam Hendra Surya (2012: 179) langkah berpikir kritis itu dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
1)      Pengenalan masalah-masalah, menilai informasi, dan memecahkan masalah atau menarik kesimpulan.
2)      Menilai informasi yang relevan.
3)      Pemecahan masalah atau penarikan kesimpulan

c.       Karakteristik Kemampuan Berpikir Kritis

Alec Fisher (2008: 7) menyebutkan karakteristik kemampuan berpikir kritis sebagai berikut: 1) Mengenal masalah, 2) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, 3) Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, 4) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, 5) Menilai fakta dan mengevalusai pernyataan-pernyataan, 6) Mengenal adanya hubungn yang logis antara masalah-masalah, 7) Menarik kesimpulan dan kesamaan yang diperlukan, 8)Menguji kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, 9) Menyusun  kembali  pola-pola keyakinan  seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas.

Menurut Zeidler, et al (1992) menyatakan beberapa karakteristik orang yang mampu berpikir kritis antara lain:

1)      Memiliki perangkat pikiran tertentu yang dipergunakan untuk mendekati gagasannya dan memiliki motivasi kuat untuk mencari dan memecahkan masalah.

2)     Bersikap skeptik, yaitu tidak mudah menerima ide atau gagasan kecuali telah membuktikan sendiri kebenarannya.

 

Wahab Jufri (2013: 104) menyatakan bahwa indikator kemampuan berpikir kritis adalah merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, mengambil keputusan dan menentukan tindakan.
Berdasarkan aspek kemampuan berpikir kritis peserta didik yang telah dikemukakan para ahli di atas, maka dalam penelitian ini menggunakan aspek kemampuan berpikir kritis seperti pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek kemampuan berpikir kritis
Indikator
Kemampuan berpikir analisis
Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan
Kemampuan berpikir sintesis
Menggabungkan fakta dan contoh dalam kehidupan sehari-hari
Kemampuan berpikir memecahkan masalah
Mengamati peristiwa yang terjadi, dapat berupa menjawab pertanyaan “mengapa?”
Kemampuan menyimpulkan
Menafsirkan hubungan sebab-akibat
Kemampuan  mengevaluasi atau menilai
Memberi pendapat atas informasi yang telah diperoleh.

Berdasarkan karakteristik diatas, maka pengembangan modul IPA berbasis keterampilan proses sains diharapkan bisa membantu untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam pembelajaran sains.
5.        Hasil Belajar
Dalam tujuan pembelajaran atau sering juga disebut dengan tujuan pendidikan, hasil belajar merupakan suatu hal yang paling pokok, karena berhasil tidaknya tujuan pembelajaran tergantung dari hasil belajar peserta didik. Berhasilnya peserta didik merupakan bagian dari berhasilnya tujuan pendidikan artinya bahwa apabila hasil belajar peserta didik yang bagus sudah barang tentu tujuan pendidikan juga berhasil dan sebaliknya apabila hasil belajar peserta didik kurang baik maka tujuan pendidikan belum dapat dikatakan berhasil. Pentingnya hasil belajar dapat dilihat dari dua sisi yakni bagi guru maupun bagi peserta didik dalam pengelolaan pendidikan pada umumnya dan khususnya mengenai tujuan dari pendidikan. Hasil belajar peserta didik dituangkan berupa nilai.
Gagne (1992) dalam Wahab Jufri (2013: 58) menyatakan hasil belajar adalah kemampuan (performance)  yang dapat teramati dalam diri seseorang dan disebut dengan kapabilitas. Menurut Gagne, ada lima kategori kapabilitas manusia yaitu 1) keterampilan inteletual (intelektual skill); 2) strategi kognitif (cognitive strategy); 3) informasi verbal (verbal infromation); 4) keterampilan motorik (motor skill); dan 5) sikap (attitude).
Di dalam informasi verbal, peserta didik dituntut mampu mengemukakan pendapatnya baik di depan guru maupun teman-teman yang lain. Mampu memberikan pengetahuan, ide atau gagasannya kepada orang lain sehingga dapat bermanfaat baik orang lain. Selain mengemukakan pendapat juga harus mampu menerima dan mencerna semua informasi-informasi dari guru sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat bertambah dan berkembang ke arah positif.
Di samping informasi verbal, peserta didik juga dituntut untuk mampu memunculkan ide-ide setiap menghadapi suatu masalah, dalam hal ini masuk dalam kategori keterampilan intelek. Di dalam menghadapi suatu permasalahan tersebut, para peserta didik selain mampu memunculkan ide juga harus disertai dengan cara berpikir yang jernih.
Keterampilan kognitif peserta didik berupa kemampuan memahami/ mendalami dan mengingat setiap materi pelajaran. Keterampilan kognitif di samping berasal dari diri peserta didik yang selalu rajin dan tekun juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat IQ peserta didik.
Keterampilan kognitif peserta didik juga masih ada hubungannya dengan keterampilan motorik. Dalam keterampilan motorik berkaitan dengan kecepatan cara berpikir dalam menghadapi setiap pertanyaan yang diberikan oleh guru. Keterampilan motorik dapat dilihat dari tingkat kecepatan cara berpikir peserta didik pada saat mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru.
Kecepatan cara berpikir peserta didik dipengaruhi oleh kelincahan peserta didik pada saat berbicara atau bergaul dengan teman. Sedangkan tingkat kualitas jawaban dari setiap pertanyaan tergantung dari kecepatan cara berpikirnya.
Kemudian yang terakhir adalah sikap. Sikap merupakan indikator yang tak kalah pentingnya dalam penilaian hasil belajar. Sikap yang baik mencerminkan hasil belajar yang baik pula, karena di dalam proses belajar mengajar yang berhasil akan mempengaruhi perubahan sikap peserta didik. Seberapa besarnya hasil yang telah dicapai peserta didik, sebasar itu pula perubahan sikap yang mampu dilakukannya.
Sedikit berbeda dengan klasifikasi Gagne, Benyamin S. Bloom (1964) dalam Wahab Jufri (2013: 59) mengelompokkan hasil belajar kedalam tiga ranah atau domain yaitu (1) kognitif, (2) afektif, dan (3) psikomotorik.

6.        Kalor dan perpindahannya
a.        Pengerian Kalor
Kalor adalah bentuk energi yang berpindah dari benda yang suhunya lebih tinggi ke benda yang suhunya lebih rendah ketika benda bersentuhan.Apabila dua benda A dan B memiliki suhu A lebih besar daripada suhu B, kemudian kedua benda tersebut disentuhkan, maka suhu A akan menurun dan suhu benda B akan naik hingga setimbang (kedua benda bersuhu sama). Dalam hal itu, benda yang bersuhu tinggi memberikan sesuatu kepada yang bersuhu rendah, sesuatu yang diberikan itu adalah energi. Energi yang diberikan karena perbedaan suhu semacam itu dinamakan kalor.
Satuan kalor sama dengan satuanya energi, yaitu Joule. Kadang-kadang satuan kalor menggunakan kalori atau kilokalori. Kesetaraan kalori dengan Joule adalah : 1 kalori=4,18 jouledan1 joule= 0,24 kalori.

b.        Perubahan Wujud Zat
Setiap zat memiliki kecenderungan untuk berubah jika zat tersebut diberikan temperatur yang tinggi (dipanaskan) ataupun temperatur yang rendah (didinginkan). Kecenderungan untuk berubah wujud ini disebabkan oleh kalor yang dimiliki setiap zat. Suatu zat dapat berubah menjadi tiga wujud zat, di antaranya cair, padat, dan gas. Perubahan wujud zat ini diikuti dengan penyerapan dan pelepasan kalor.
1)        Kalor Penguapan dan Pengembunan
Kalor penguapan adalah kalor yang dibutuhkan oleh suatu zat untuk menguapkan zat tersebut. Jadi, setiap zat yang akan menguap membutuhkan kalor. Adapun kalor pengembunan adalah kalor yang dilepaskan oleh uap air yang berubah wujud menjadi air. Jadi, pada setiap pengembunan akan terjadi pelepasan kalor. Besarnya kalor yang dibutuhkan pada saat penguapan dan kalor yang dilepaskan pada saat pengembunan adalah sama. Secara matematis, kalor penguapan dan pengembunan dapat dituliskan sebagai berikut.
Q = m.L         
2)        Kalor Peleburan dan Pembekuan
Besarnya kalor yang dibutuhkan pada saat peleburan dan besarnya kalor yang dilepaskan dalam proses pembekuan adalah sama. Perumusan untuk kalor peleburan dan pembekuan sama dengan perumusan pada kalor penguapan dan pengembunan, yakni sebagai berikut.
Q = m L

c. Hubungan Kalor Laten dan Perubahan Wujud
Sebuah benda dapat berubah wujud ketika diberi kalor. Coba Anda perhatikan perilaku suatu benda ketika dipanaskan. Apabila suatu zat padat, misalnya es dipanaskan, es tersebut akan menyerap kalor dan beberapa lama kemudian berubah wujud menjadi zat cair. Perubahan wujud zat dari padat menjadi cair ini disebut proses melebur. Temperatur pada saat zat mengalami peleburan disebut titik lebur zat. Adapun proses perubahan wujud zat dari cair menjadi padat disebut sebagai proses pembekuan dan temperatur ketika zat mengalami proses pembekuan disebut titik beku zat.
Jika zat cair dipanaskan akan menguap dan berubah wujud menjadi gas. Perubahan wujud dari zat cair menjadi uap (gas) disebut menguap. Pada peristiwa penguapan dibutuhkan kalor. Proses penguapan dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya Anda mencelupkan tangan Anda ke dalam cairan spiritus atau alkohol. Spiritus atau alkohol adalah zat cair yang mudah menguap. Untuk melakukan penguapan ini, spiritus atau alkohol menyerap panas dari tangan Anda sehingga tangan Anda terasa dingin. Peristiwa lain yang memperlihatkan bahwa proses penguapan membutuhkan kalor adalah pada air yang mendidih. Penguapan hanya terjadi pada permukaan zat cair dan dapat terjadi pada sembarang temperatur, sedangkan mendidih hanya terjadi pada seluruh bagian zat cair dan hanya terjadi pada temperatur tertentu yang disebut dengan titik didih. Proses kebalikan dari menguap adalah mengembun, yakni perubahan wujud dari uap menjadi cair. Ketika sedang berubah wujud, baik melebur, membeku, menguap, dan mengembun, temperatur zat akan tetap, walaupun terdapat pelepasan atau penyerapan kalor. Dengan demikian, terdapat sejumlah kalor yang dilepaskan atau diserap pada saat perubahan wujud zat, tetapi tidak digunakan untuk menaikkan atau menurunkan temperatur. Kalor ini disebut sebagai kalor laten dan disimbolkan dengan huruf L. Besarnya kalor ini bergantung pada jumlah zat yang mengalami perubahan wujud (massa benda). Jadi, kalor laten adalah kalor yang dibutuhkan oleh suatu benda untuk mengubah wujudnya per satuan massa.
Kalor yang diserap oleh suatu zat padat ketika melebur atau menguap tidak dapat menaikkan temperaturnya. Berdasarkan teori kinetik, pada saat melebur atau menguap, kecepatan getaran molekul bernilai maksimum. Kalor yang diserap tidak menambah kecepatannya, tetapi digunakan untuk melawan gaya ikat antarmolekul zat tersebut. Ketika molekul-molekul ini melepaskan diri dari ikatannya, zat padat berubah menjadi zat cair atau zat cair berubah menjadi gas. Setelah seluruh zat padat melebur atau menguap, temperatur zat akan bertambah kembali. Peristiwa kebalikannya terjadi juga pada saat melebur, membeku, atau mengembun.

d. Azas Black
Kalor adalah energi yang dipindahkan dari benda yang memiliki temperatur tinggi ke benda yang memiliki temperatur lebih rendah sehingga pengukuran kalor selalu berhubungan dengan perpindahan energi. Energi adalah kekal sehingga benda yang memiliki temperatur lebih tinggi akan melepaskan energi sebesar QL dan benda yang memiliki temperatur lebih rendah akan menerima energi sebesar QT dengan besar yang sama. Secara matematis, pernyataan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
QLepas = Qterima                               
Persamaan tersebut menyatakan hukum kekekalan energi pada pertukaran kalor yang disebut sebagai Asas Black. Nama hukum ini diambil dari nama seorang ilmuwan Inggris sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, yakni Joseph Black (1728–1799). Pengukuran kalor sering dilakukan untuk menentukan kalor jenis suatu zat. Jika kalor jenis suatu zat diketahui, kalor yang diserap atau dilepaskan dapat ditentukan dengan mengukur perubahan temperatur zat tersebut. Kemudian, dengan menggunakan persamaan:
Q = m c ΔT                
Besarnya kalor dapat dihitung. Ketika menggunakan persamaan ini, perlu diingat bahwa temperatur naik berarti zat menerima kalor, dan temperatur turun berarti zat melepaskan kalor

e. Perpindahan Kalor
Kalor itu berpindah dari suhu yang tinggi ke suhu yang rendah. Sebagai ilustrasi saat seseorang menanak nasi. Peristiwa apa yang menyebabkan beras yang bertekstur keras dapat berubah menjadi nasi yang lunakdan lembut, terjadi karena adanya perpindahan kalor dari api kompor ke beras dan air yang berada dalam wadah pemasak itu. Cara kalor berpindah ada tiga cara yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.
1) Konduksi
Konduksi adalah perpindahan kalor yang tidak disertai perpindahan zat penghantar. Misalnya, salah satu ujung batang besi dipanaskan. Akibatnya, ujung besi yang lain akan terasa panas.
Jika salah satu ujung sebuah batang logam diletakkan di dalam nyala api, sedangkan ujung yang satunya lagi dipegang, bagian batang yang dipegang ini akan terasa makin lama makin panas, walaupun tidak kontak langsung dengan nyala api itu. Batang logam ini terdiri dari partikel-partikel logam yang sangat berdekatan letaknya. Sehingga saat ujung logam dikenai panas maka partikel diujung tersebut memperoleh energi panas yang membuatnya bergetar dan bertumbukan dengan partikel disebelahnya tanpa ikut berpindah.
2) Konveksi
Konveksi adalah proses perpindahan kalor dengan disertainya perpindahan partikel. Konveksi ini umumnya terjadipada zat fluid (zat yang mengalir) seperti air dan udara. Konveksidapat terjadi secara alami ataupun dipaksa. Jika bahan yang dipanaskan dipaksa bergerak dengan alat peniup atau pompa, prosesnya disebut konveksi yang dipaksa, kalau bahan itu mengalir akibat perbedaan rapat massa, prosesnya disebut konveksi alamiah atau konveksi bebas.
3) Radiasi
Radiasi merupakan proses perpindahan kalor yang tidak memerlukan medium (perantara). Radiasi ini biasanya dalam bentuk Gelombang Elektromagnetik (GEM) yang berasal dari matahari. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari proses radiasi juga berlaku saat kita berada didekat api unggun. Kita akan meninjau proses radiasi yang berasal dari matahari. Matahari adalah sumber cahaya di bumi, sinarnya masuk ke bumi melewati filter yang disebut atmosfer, sehingga cahaya yang masuk ke bumi adalah cahaya yang tidak berbahaya.

B.     Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
1.        Penelitian yang dilakukan oleh Rahmaditasari, Endah Peniati dan Kasmui (2013) bertujuan untuk mengetahui kelayakan dan keefektifan modul pembelajaran IPA Terpadu berpendekatan keterampilan proses pada tema dampak limbah rumah tangga terhadap lingkungan untuk SMP kelas VIII. Penelitian menggunakan metode Research and Development (R&D). Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul termasuk dalam kriteria layak digunakan tanpa revisi berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh pakar. Hasil tanggapan penggunaan modul oleh guru dan siswa termasuk dalam kriteria sangat menarik. Hasil belajar siswa pada skala besar mencapai 87,5% siswa tuntas belajar, menunjukkan adanya hasil yang signifikan karena hasil thitung>ttabel dan n-gain termasuk dalam kategori tinggi. Disimpulkan modul pembelajaran IPA Terpadu berpendekatan keterampilan proses pada tema dampak limbah rumah tangga terhadap lingkungan layak dan efektif digunakan dalam pembelajaran IPA Terpadu kelas VIII.
2.        Penelitian yang dilakukan oleh Richard Owino Ongowo (2013) bertujuan untuk menentukan keterampilan proses sains termasuk dalam Sertifikat Kenya Ujian praktek Pendidikan Menengah (KCSE) biologi di Kenya untuk jangka waktu 10 tahun (2002-2012). Isi KCSE Biologi Pertanyaan Praktis (KCPE-BPQ) untuk periode dianalisis berdasarkan 12 kategori keterampilan proses sains dan deskripsi mereka. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase. Lima keterampilan proses sains yang paling umum diidentifikasi dari 12 diperiksa dalam penelitian ini adalah observasi (32,24%), berkomunikasi (14,63%), menyimpulkan (13,13%), eksperimen (12,21%) dan menafsirkan data (11,94%). Hasil penelitian juga mengungkapkan persentase yang tinggi dari keterampilan proses sains dasar  73,73% dibandingkan dengan keterampilan proses sains yang terintegrasi 26,27%.
3.        Penelitian yang dilakukan oleh A.B. Susilo (2012) yang mengembangkan model pembelajaran IPA berbasis masalah dengan model Four-D, yang meliputi tahap definition (pendefini­sian), design (perancangan), development (pengembangan) dan disseminate (penye­baran) untuk meningkatkan motivasi belajar dan berpikir kritis. Pengumpulan data dengan tes kemampuan berpikir kritis, observasi dan angket motivasi. Hasil belajar kemampuan berpikir kritis kelas uji coba mengalami peningkatan dari 61,53 men­jadi 80,24. Uji signifikansi hasil belajar kognitif kelas uji coba diperoleh nilai thitung = 11,76 dan harga ttabel = 1,69; dapat dikatakan hasil belajar tes kemampuan berpikir kritis mengalami peningkatan yang signifikan. Motivasi belajar siswa dalam pemb­elajaran mengalami peningkatan dari pre-test ke post-test. Hasil analisis data men­unjukkan bahwa perangkat pembelajaran IPA Berbasis Masalah yang telah dikem­bangkan mampu meningkatkan motivasi dan kemampuan berpikir kritis siswa.
4.        Penelitian yang dilakukan oleh Sinan Özgelen (2012) yang bertujuan untuk menyelidiki keterampilan proses ilmiah peserta didik Turki utama di bawah kerangka teori dari domain kognitif. Sampel set terdiri dari
306
peserta didik kelas keenam dan ketujuh dari sekolah umum, swasta, dan bussed. Uji Keterampilan Proses Terpadu Turki digunakan untuk mengukur keterampilan proses ilmiah, dan temuan menunjukkan skor umumnya rendah. Namun, hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan antara peserta didik kelas enam dan ketujuh di sekolah swasta dan publik. Selain itu, perbedaan yang signifikan muncul di kalangan peserta didik kelas enam di masing-masing jenis sekolah. Peserta didik sekolah swasta memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserya didik sekolah masyarakat dan bussed. Demikian pula, perbedaan yang signifikan ditentukan antara peserta didik kelas enam di sekolah umum dan bussed. Pada tingkat kelas tujuh, peserta didik sekolah swasta mencetak secara signifikan lebih tinggi daripada peserta didik di sekolah masyarakat dan bussed. Perbedaan ini dijelaskan dan dibahas dalam kerangka domain kognitif dan kemungkinan alasan untuk pencapaian ilmu diidentifikasi.
5.        Penelitian yang dilakukan oleh Tia Ristiasari, Bambang Priyono dan Sri Sukaesih (2012) yang bertujuan untuk mengetahui model pembelajaran problem solving dengan mind mapping berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP N 6 Temanggung. Hasil penelitian diperoleh peningkatan tes kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen sebesar 0,40 (sedang) sedangkan untuk kelas kontrol sebesar 0,23 (rendah). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa penerapan model pembelajaran problem solving dengan mind mapping berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis di SMP Negeri 6 Temanggung.
6.        Penelitian yang dilakukan oleh Rose Amnah Abd Rauf, Mohamad Sattar Rasul, Azlin Norhaini Mansor, Zarina Othman dan N. Lyndon (2013) bertujuan untuk menyelidiki apakah pendekatan pengajaran yang digunakan dalam proses pengajaran dan pembelajaran dari kelas sains dapat memberikan kesempatan untuk menanamkan keterampilan proses sains dan untuk mengidentifikasi keterampilan proses sains yang menanamkan (jika ada) dalam pelajaran tanpa benar-benar berencana untuk mengajarkan keterampilan proses sains. Ini merupakan studi kasus kualitatif dalam dua Sekolah Cerdas di Malaysia. 24 peserta didik berusia 14 tahun dan dua guru sains adalah sampel dari penelitian ini. Penelitian ini mengungkapkan bahwa proses pengajaran dan pembelajaran IPA yang menggunakan berbagai pendekatan mengajar di salah satu pelajaran ilmu memiliki keuntungan tambahan dalam hal memberikan kesempatan bagi penanaman keterampilan proses sains. Hal ini juga berhasil memberikan peserta didik dengan kesempatan untuk belajar secara mandiri dalam memperoleh beberapa keterampilan. Penggunaan berbagai pendekatan pengajaran dalam penjajaran satu sama lain. mengajar ilmu pengetahuan dan proses belajar adalah proses dinamis, di mana gerakan dari satu pendekatan pengajaran yang lain terjadi dan belum tentu selalu terjadi dalam urutan teratur. Oleh karena itu, penggunaan berbagai pendekatan pengajaran dalam pelajaran tunggal dapat menciptakan lebih banyak kesempatan untuk penanaman dan perolehan keterampilan proses sains di kelas.
7.        Penelitian yang dilakukan oleh E. Susantini, M. Thamrin H., Isnawati, L. Lisdiana (2012) yang bertujuan mendeskripsikan kelayakan petunjuk praktikum genetika dan kunci yang telah dikembangkan. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dan pengembangan dengan menggunakan Three DModels, yaitu Design, Define, dan Develop. Hasil penelitian menunjukkan petunjuk praktikum genetika dan kunci memperoleh skor rerata ≥ 3,5 (rentang skala 1–4) yang dikategorikan layak secara teoritis. Keterbacaan petunjuk praktikum genetika memperoleh rerata respon positif 89% yang dikategorikan sangat baik.
8.        Penelitian yang dilakukan oleh Sukarno, Anna Permanasari dan Ida Hamidah (2013) yang bertujuan untuk pengembangan keterampilan proses sains peserta didik di sekolah-sekolah adalah sebuah kebutuhan. Di Jambi, pelatihan dan pengembangan keterampilan proses sains peserta didik dalam kegiatan belajar ilmu pengetahuan dan pembelajaran masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh hasil survei yang dilakukan sepuluh tempat di SMP. Survei menunjukkan bahwa kemampuan rata-rata keterampilan proses sains peserta didik masih agak rendah. Data menunjukkan bahwa sebanyak 43,48%  kategori rendah, 30,43%  kategori sedang dan 26,09% kategori tinggi.
9.        Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Sadia (2008) yang merupakan bagian dari penelitian pengembangan model dan perangkat pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMP dan SMA. Penelitian ini dimaksudkan untuk (1) mendeskripsikan model/strategi pembelajaran yang domain digunakan guru dalam proses pembelajaran; (2)  mendeskripsikan persepsi guru tentang  model/strategi pembelajaran yang berkontribusi secara signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa; dan (3) mendekripsikan kualifikasi keterampilan berpikir kritis siswa.  Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) model pembelajaran yang paling dominan digunakan guru dalam proses pembelajaran adalah model ekspositori; (2) menurut persepsi guru, model-model pembelajaran yang dipandang akan memberi kontribusi yang signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah pembelajaran kontekstual, model pembelajaran berbasis masalah, model problem solving, model sains-teknologi-masyarakat, model siklus belajar, dan model pembelajaran berbasis penilaian portofolio; dan (3) keterampilan berpikir kritis awal siswa SMP kelas IX dan siswa SMA kelas X masih berkategori rendah. Untuk siswa kelas IX SMP skor rerata keterampilan berpikir kritis siswa adalah 42,15 dan untuk siswa SMA kelas X  skor reratanya adalah 49,38 (skor standar 100).
10.    Penelitian yang dilakukan oleh Mansoor Fahim (2012) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah konsep yang sulit untuk menentukan. Ini melibatkan penalaran dan aktif pertimbangan apa yang diterima daripada penerimaan terus terang ide. Telah berpendapat bahwa ketika fokus pengujian adalah pemeriksaan itu sendiri, kemampuan berpikir kritis peserta didik tidak dapat dikuatkan. Namun, jenis dan format tes yang berbeda dapat melibatkan peserta didik dalam berpikir kritis aktif ketika mereka tepat disiapkan. Dalam makalah ini beberapa tes ini digunakan dalam literatur dan cara mereka melibatkan peserta didik dalam kegiatan berpikir kritis dijelaskan. Makalah ini menyimpulkan bahwa tes yang berbeda dari bahasa dapat dimanipulasi sehingga mereka dapat melibatkan peserta didik dalam kegiatan berpikir kritis. Implikasi bagi guru dan pengembang tes juga disediakan.
11.    Penelitian yang dilakukan oleh Ermininingsih, Suciati Sudarisman, Suparmi (2013) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran berbasis masalah menggunakan lembar kerja terbimbing dan lembar kerja bebas termodifikasi, keterampilan proses sains, kemampuan berpikir analitis serta interaksinya terhadap prestasi belajar peserta didik. Teknik pengumpulan data prestasi belajar kognitif, psikomotor, kemampuan berpikir analitis dan keterampilan proses sains menggunakan metode tes. Prestasi belajar afektif menggunakan angket dan lembar observasi. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa; 1) pembelajaran berbasis masalah menggunakan lembar kerja terbimbing dan lembar kerja bebas termodifikasi berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar, lembar kerja terbimbing lebih baik dari lembar kerja bebas termodifikasi; 2) keterampilan proses sains berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar 3) kemampuan berpikir analitis berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar afektif dan psikomotor, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar kognitif; 4) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara penggunaan jenis lembar kerja dengan keterampilan proses sains terhadap prestasi belajar; 5) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara penggunaan jenis lembar kerja dengan kemampuan berpikir analitis terhadap prestasi belajar; 6) terdapat interaksi yang signifikan antara keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir analitis terhadap prestasi belajar; 7) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara jenis lembar kerja dengan keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir analitis terhadap prestasi belajar.
12.    Penelitian yang dilakukan oleh Farhad Golpour (2014) Fungsi penting dari berpikir kritis dalam pendidikan jelas oleh banyak penelitian yang dilakukan di bidang ini. Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk menemukan hubungan antara tingkat berpikir kritis peserta didik EFL Iran dan kinerja mereka pada mode yang berbeda dari menulis. Sampel penelitian dipilih di antara mereka yang belajar bahasa Inggris di tingkat lanjutan di Kish Institut Sains dan Teknologi, Rasht, Iran. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kertas dan pensil tes Longman (2004) untuk memastikan homogenitas peserta didik, pemikiran kritis kuesioner (Madu, 2004) dengan 30 item ke dalam 5-point jenis skala Likert yang digunakan untuk membagi peserta didik menjadi tinggi dan rendah pemikir kritis dan skala analitik Weir (1990) untuk menilai tulisan argumentatif dan deskriptif peserta. Studi ini diikuti desain ex-post facto. Hasil statistik inferensial menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara kinerja penulisan pemikir kritis tinggi dan rendah di kedua mode deskriptif dan argumentatif. Ditemukan bahwa tulisan pemikir kritis tinggi 'lebih baik di kedua mode penulisan dibandingkan dengan pemikir kritis rendah. Hasil penelitian ini membantu guru untuk mempertimbangkan efek dari berpikir kritis pada proses pembelajaran. Selain itu, para desainer silabus dan penulis tentu saja-book harus berpikir tentang berpikir kritis sebagai unsur yang berpengaruh dalam program mereka.

C.    Kerangka Berpikir

IPA terdiri dari 3 komponen yang harus dikuasai peserta didik yakni IPA sebagai proses, produk dan sikap ilmiah (Trianto, 2010: 137). Praktik pembelajaran IPA di lapangan belum sepenuhnya mengarah pada pada proses ilmiah, dan produk ilmiah. Selama ini pembelajaran IPA masih hanya berorientasi pada produk belum mengarah pada proses ilmiah. Metode pembelajaran yang digunakan masih didominasi menggunakan metode ceramah, sehingga peserta didik hanya belajar berupa menghapal materi kemudian mengerjakan soal-soal.
Bahan ajar yang digunakan peserta didik adalah Buku pengayaan IPA dari MGMP. Peserta didik belum dilatih merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan, menganalisis data, menarik kesimpulan. Peserta didik langsung disajikan kegiatan percobaan. Angket analisis kebutuhan guru meliputi: (1) guru mengalami kesulitan dalam membelajarkan IPA secara terpadu; (2) guru yang membutuhkan bahan ajar yang dapat memberdayakan keterampilan proses sains, bahan ajar yang berisi sintaks berpikir kritis, dan bahan ajar yang memuat proses, produk, sikap ilmiah; (3) guru yang membutuhkan bahan ajar IPA Terpadu.
Karakteristik modul dalam penelitian ini adalah modul yang berbasis keterampilan proses sains dalam pembelajaran IPA karena  digunakan peserta didik untuk menalar fenomena yang terjadi. Proses ilmiah tercermin ketika peserta didik melaksanakan pembelajaran IPA yang meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengkomunikasikan dan menyimpulkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi aktivitas keterampilan proses sains peserta didik dan berpikir kritis adalah dengan mengembangkan bahan ajar berupa modul. Modul membantu peserta didik untuk belajar secara mandiri konten-konten IPA tanpa terpancang waktu pembelajaran IPA di sekolah. Modul IPA yang dikembangkan memiliki basis keterampilan proses sains. Salah satu keunggulan keterampilan proses sains yaitu mampu membantu peserta didik mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif peserta didik.
Modul dikatakan layak jika dalam pengembangannya telah divalidasi dari validator ahli diantaranya ahli materi, ahli bahasa, ahli media, guru dan teman sejawat. Untuk mengetahui kualitas modul, dengan penggunaan modul berbasis keterampilan proses sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik setelah menggunakan modul IPA berbasis keterampilan proses sains yang dikembangkan
Berdasarkan  hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs  tahun pelajaran 2013/2014 menunjukkan persentase penguasaan materi  IPA pada kemampuan uji  menentukan jumlah kalor yang diperlukan benda pada suatu pemanasan, SMP Negeri 1 Weru  mendapatkan  rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan materi IPA dengan  Kemampuan uji:  menentukan jumlah kalor yang diperlukan benda pada suatu pemanasan (SMP Negeri 1 Weru: 45,80, kabupaten Sukoharjo: 61,35,  Propinsi Jateng: 61,95,  Nasional: 66,52),  (Balitbang Kemdikbud, 2014). Sedangkan  hasil analisis Ujian Nasional SMP/MTs  tahun pelajaran 2014/2015 menunjukkan persentase penguasaan materi  IPA pada kemampuan uji  menentukan besaran kalor jenis SMP Negeri 1 Weru  mendapatkan  rata rata hasil yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM IPA: 71). Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan materi IPA dengan  Kemampuan uji:  menentukan besaran kalor jenis (SMP Negeri 1 Weru: 38,73, kabupaten Sukoharjo: 57,42,  Propinsi Jateng: 56,64,  Nasional: 62,05),  (Balibang Kemdikbud, 2015).  Dalam konten itu, masih diperlukannya buku  penunjang pada materi seperti tersebut di atas untuk meningkatkan pencapaian kompetensi peserta didik.
Pada kurikulum 2013 materi IPA sudah tersusun secara terstruktur dalam KI dan KD. Pada KD kelas VII SMP semester 2 yaitu 3.7, 4.10 dan 4.11 menunjukkan adanya keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam memahami konsep kalor. Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menginferensi, dan mengevaluasi (Angelo, 1995: 6).
Uraian yang telah dipaparkan melatarbelakangi untuk dilakukan penelitian tentang “Pengembangan Modul IPA Berbasis Keterampilan Proses Sains untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 1 Weru pada materi kalor dan perpindahannya”.






















 

















Gambar 2.2. Alur kerangka berpikir penelit

Pengembangan Kompetensi Fitur Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah di Platform Merdeka Mengajar

  Pada tanggal 19 Desember 2023 GTK Kemdikbudristek telah merilis Fitur Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah di Platform Merdeka Meng...