BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan pembelajaran
sains (IPA) di SMP/MTs sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.
22 Tahun 2006, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. (1)
Meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan,
keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, (2) mengembangkan pemahaman tentang
berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip sains yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3) mengembangkan rasa ingin tahu sikap
positif, dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang
saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, (4)
melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berfikir, bersikap, dan
bertindak ilmiah serta berkomunikasi, (5) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan
serta sumber daya alam, (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan
segala keteraturannya sebagai
salah satu ciptaan Tuhan, (7) meningkatkan pengetahuan, konsep,
dan keterampilan sains sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan
tersebut pendidikan sains diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih
lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembelajarannya lebih menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi dasar agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara
ilmiah. Sains diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan sains perlu dilakukan secara bijaksana untuk menjaga
dan memelihara kelestarian
lingkungan.
Pembelajaran sains
sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry ) untuk
menumbuhkan kemampuan berfikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu
pembelajaran sains di SMP/MTs menekankan pada pemberian pengalaman belajar
secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan
sikap ilmiah.
Sudah diketahui bersama bahwa, IPA adalah
ilmu mengkaji fenomena alam yang ada di sekitar kita. Kajian IPA mencakup tiga
aspek, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Bagaimana tumbuhan
berkembang biak? Ada apa di dalam atom? Bagaimana susunan tata surya? Bagaimana
cara ikan paus berenang? Bagaimana terjadinya fosil? Bagaimana tanaman di dasar
laut berfotosintesis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut baru sekelumit pertanyaan
yang telah terjawab oleh ilmuwan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan
contoh dari tiga pertanyaan dasar dalam IPA, yaitu: What is there, How does it
work? How did it come to be this way? Untuk menjawab bagaimana tumbuhan dapat
melakukan perkembangbiakan? Ada apa di dalam atom? Manusia tidak mungkin masuk
ke dalam atom, kalau begitu bagaimana caranya manusia tahu bahwa di dalam atom
ada elektron dan inti atom? Bagaimana manusia tahu ada 8 planet dalam tata
surya? Bagaimana manusia tahu tentang umur fosil? Bagaimana manusia tahu
karakter ikan paus? Dan bagaimana tumbuhan yang di dasar laut dapat memperoleh
sinar matahari? Konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori-teori dalam
IPA merupakan produk dari serangkaian aktivitas manusia yang dikenal dengan
penyelidikan ilmiah (Scientific Inquiry). “The scientific process as
observation, measurement, experimentation, and the other operation included in
the scientific method” (Sund & Trowbridge, 1973). Orang yang berkecimpung
di dalam IPA akan mendapatkan sikap ilmiah seperti jujur, cermat, berpikir
kritis, rasa ingin tahu, menghormati pendapat orang lain, dan sebagainya.
Proses untuk menghasilkan
pengetahuan sangat bergantung pada pengamatan teliti terhadap suatu fenomena,
dan teori yang mendasari pengamatan, yang pada gilirannya akan memberi peluang
munculnya teori baru yang dapat menggugurkan teori lama atau diperoleh teori
yang lebih memperkuat teori yang sudah ada, dengan perkataan lain “hukum-hukum
dan teori dalam IPA bukan suatu kebenaran mutlak dan sempurna”. Teori yang
menyatakan matahari sebagai pusat tata surya (Heliosentris) berhasil
menggugurkan teori lama yang menyatakan bumi sebagai pusat tata surya
(Geosentris), sebaliknya teori relativitas yang dikemukakan oleh Einstein tidak
mengesampingkan hukum gerak Newton.
Hakikat IPA adalah IPA sebagai
produk, dan IPA sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah
hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip dan
teori-teori. Fakta dalam IPA adalah pernyataan-pernyataan tentang benda-benda
yang benar-benar ada, atau peristiwa yang betul-betul terjadi dan dikonfirmasi
secara objektif. Contohnya atom hidrogen mempunyai satu elektron, merkurius adalah
planet terdekat dengan matahari. Sedangkan konsep IPA adalah suatu ide yang
mempersatukan fakta-fakta. Contohnya semua zat tersusun atas partikel-partikel,
materi akan berubah tingkat wujudnya bila menyerap atau melepaskan energi.
Prinsip IPA adalah generalisasi tentang hubungan antara konsep-konsep IPA.
Contohnya udara yang dipanaskan memuai, adalah prinsip menghubungkan konsep
udara, panas, pemuaian. Artinya udara akan memuai jika udara tersebut
dipanaskan. Teori IPA adalah kerangka yang lebih luas dari fakta-fakta,
konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang saling berhubungan. Contohnya teori
meteorologi membantu para ilmuwan untuk memahami mengapa dan bagaimana kabut
dan awan terbentuk.
Sedangkan IPA sebagai proses adalah
strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai
hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan tentang kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa alam. Maka dari itu, IPA sebagai produk tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya IPA sebagai proses. Dari sini dapat diketahui kajian
IPA sangat luas, dan IPA mempunyai andil dalam memberikan sumbangan pada
kemajuan peradaban manusia, khususnya perkembangan teknologi suatu bangsa.
Banyak orang yang beranggapan bahwa IPA itu sulit dan membosankan. Selama ini
IPA dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Para siswa menganggap bahwa
IPA hanya untuk orang pintar. Untuk mengubah paradigma tersebut, maka perlu
upaya melakukan pembelajaran IPA yang sederhana, mudah dicerna, menarik bagi
siswa dan menyenangkan.
Kenyataan selama ini di
lapangan guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau LKS,
dengan mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya jawab. Siswa harus
mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan
yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan
pendapat. Paradigma yang hanya mementingkan hasil tes atau ujian harus segera
diubah menjadi penekanan pada proses pembelajaran, sedangkan hasil ujian atau
tes merupakan dampak dari proses pembelajaran yang benar dan berkualitas. Salah
satu penyebab universal rendahnya hasil belajar IPA yang dicapai siswa adalah
terjadinya miskonsepsi pada siswa. Prakonsepsi atau prior knowladge siswa
atas konsep IPA siswa atas konsep IPA yang dibangun oleh siswa itu sendiri
melalui belajar informal dalam upaya memberikan makna atas pengalaman mereka sehari-hari
mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan konsepsi ilmiah (Trumper,
1990). Prakonsepsi yang secara terus menerus dapat mengganggu pembentukan
konsepsi ilmiah. Kesalahan yang bersifat teknis dan substansial ini, disamping menghambat pemahaman, juga berpeluang menimbulkan
salah pemahaman (misunderstanding ) atau miskonsepsi
BAB II
PEMBAHASAN
A. MISKONSEPSI
Para siswa sebelum mengikuti
pembelajaran IPA di sekolah, mereka sudah memiliki pengetahuan yang
dikembangkan dalam pikirannya masing-masing. Ketika datang di sekolah pikiran
siswa penuh dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena ataupun
peristiwa fisis yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Tafsiran terhadap
data sensori yang dibangun dalam pikiran siswa akan menghasilkan pengetahuan
yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lain. Hal ini bergantung dari
pengalaman dan keragaman pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.
Menurut faham konstruktivistis atau
konstruktivisme,”anak membangun pengetahuan di dalam pikirannya” (Bodner,
1996:893). Dalam pikiran siswa terbentuk bangunan mental yang menggambarkan
fenomena alam di sekitarnya, dan disebut sebagai konsepsi. Body of knowledge
atau tubuh pengetahuan pada IPA dibangun oleh para ilmuwan yang berupa
konsepsi-konsepsi yang telah disepakatinya. Kadang-kadang konsepsi yang
dimiliki seseorang atau oleh anak tidak sesuai dengan konsepsi yang telah
disepakati oleh para ilmuwan.
Konsepsi yang dimiliki oleh
seseorang yang tidak sesuai dengan konsepsi yang disepakati oleh para ilmuwan
disebut miskonsepsi. Istilah miskonsepsi sering juga disesbut konsepsi anak,
konsepsi awal, kerangka alternatif, dan sebagai konsepsi alternatif.
Miskonsepsi ini perlu diluruskan sehingga tidak mengganggu penerimaan
konsep-konsep IPA dalam pikiran anak.
Pada dasarnya siswa tidak menyadari
bahwa di dalam pikirannya terjadi miskonsepsi. Biasanya siswa akan meyakini
akan kebenaran semua pengetahuan yang telah dibangun di dalam pikirannya. Siswa
tidak mengetahui apakah konsepsi yang terbentuk dalam pikirannya terjadi mis
atau tidak, dan tidak menjadi masalah sepanjang miskonsepsi tersebut berguna
dalam kehidupannya.
Sebagai contoh seorang anak kecil,
diminta untuk mengamati atau memperhatikan keadaan matahari. Pagi hari matahari
terbit dari timur, pada siang hari matahari berada di atas kepala kita, dan
pada sore hari matahari tenggelam di ufuk barat. Anak memperhatikan matahari
bergerak dari Timur ke Barat dan terjadi setiap hari. Apa kesimpulan anak jika
ditanya bagaimana keadaan matahari terhadap bumi?. Dalam hal ini anak akan
menjawab bahwa matahari mengelilingi bumi. Apakah jawaban siswa tersebut salah,
inilah yang disebut dengan miskonsepsi. Mengapa?, karena pikiran anak
bersesuaian dengan faham geosnetris, sedangkan yang disepakati oleh para
ilmuwan adalah faham heliosentris.
Miskonsepsi lain yang sering terjadi
pada khususnya pada jenjang sekolah menengah. Misalnya, sering kali disampaikan
salah satu perbedaan DNA dan RNA adalah bahwa DNA terletak di dalam inti sel (nukleus) sedangkan RNA terdapat di luar inti sel.
Kenyataannya DNA tidak hanya terdapat di dalam nukleus saja tetapi juga bisa
berada di luar nukleus. Mitokondria dan kloroplas adalah organel yang berada di
luar nukleus, keduanya mempunyai DNA. Oleh karena itu DNA dapat berada di luar
nukleus. Sementara RNA tidak hanya dijumpai di luar inti sel saja. Tentu kita masih
ingat bahwa pada saat transkripsi RNA dari DNA sebelum meninggalkan inti sel
RNA masih berada di dalam inti sel.
Contoh lain yaitu transkripsi sering
hanya dimaksudkan untuk membahas pembentukan RNA duta atau mRNA saja, terutama
jika sedang mendiskusikan proses sintesis protein. Kenyataannya proses
transkripsi tidak hanya dimaksudkan untuk pembentukan RNA duta atau mRNA saja.
Kita tahu bahwa bermacam-macam RNA seperti mRNA, tRNA, rRNA, sRNA dan
sebagainya. Semua macam RNA tersebut dibentuk atau dihasilkan melalui proses
transkripsi.
Terjadi juga miskonsepsi yang
mengajarkan tentang Hukum Mendel I sering kali diterjemahkan dengan potong
kompas yaitu mengarah pada persilangan monohibrid. Demikian pula Hukum Mendel
II sering kali dimaksudkan untuk membidik persilangan dihibrid. Kenyataannya
Hukum Mendel I lebih sering dikenal dengan Hukum segregasi bebas, yaitu
memisahnya gen-gen sealela secara bebas pada saat meiosis pembentukan sel
gamet. Memang fenomena ini mudah diamati pada persilangan monohibrid, akan
tetapi bukan berarti Hukum ini hanya terjadi pada persilangan monohibrid saja. Hukum
Mendel II sering dikenal dengan hukum asortasi bebas yaitu terjadinya
penggabungan gen-gen yang tidak sealela sehingga melengkapi informasi genetik
dalam sebuah sel gamet. Sebagai contoh misalnya ada individu dengan genotip
MmNn pada saat pembentukan gamet akan menghasilkan informasi genetik separoh
dari semua informasi genetik individu tersebut sehingga gen M dapat mengelompok
dengan N ataupun n menjadi MN atau Mn. Demikian pula gen m secara bebas akan
mengelompok dengan N atau n menjadi mN atau mn. Adanya pengelompokan gen yang
tidak sealela ini hanya mungkin terjadi pada persilangan yang memperhatikan
minimal dua sifat beda (dihibrid), bukan berarti hukum Mendel II adalah hukum
persilangan dihibrid. Pada persilangan yang memperhatikan lebih banyak sifat
beda seperti trihibrid, tetrahibrid dst juga terjadi demikian.
Masih saja ada yang mendefinisikan
organ dengan tidak tepat. Definisi yang seing keliru tentang organ adalah bahwa
organ adalah kumpulan dari jaringan yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama.
Kenyataannya jika organ merupakan kumpulan dari jaringan yang mempunyai bentuk
dan fungsi yang sama maka justru fungsi organ tidak akan efektif. Organisasi
pada tingkat organ akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik jika terdiri
dari banyak jaringan yang berbeda. Sebagai conoth misalnya organ mata, padanya
dapat kita jumpai adanya jaringan neuroepitelium, jaringan saraf, jaringan
darah, jaringan ikat.
Pemahaman konsep osmosis sering kali
keliru terutama jika pengertiannya dikaitkan dengan difusi. Osmosis sering
disalah artikan yaitu dianggap kebalikan dari proses difusi. Kenyataannya
difusi adalah pergerakan atau perpindahan molekul terlarut dari konsentrasi
larutan tinggi (hipertonis) menuju konsentrasi rendah (hipotonis) baik melalui
atau tanpa melalui membran. Osmosis adalah
pergerakan atau perpindahan molekul pelarut (air) dari konsentrasi rendah
(hipotonis) menuju konsentrasi tinggi (hipotonis). Ingat yang bergerak adalah
molekul pelarutnya yang bertujuan untuk meniadakan gradien konsentrasi seperti
halnya yang terjadi pada difusi juga bertjuan untuk meniadakan gradien
konsentrasi. Dengan kata lain kondisi akhir proses difusi maupun osmosis adalah
sama-sama menuju keadaan isotonis. Dengan demikian tidak ada yang dapat
dipertentangkan antara difusi dengan osmosis.
Miskonsepsi pada
pembelajaran IPA juga terjadi pada reaksi kimia dapat dipercepat dengan
katalisator. Katalisator adalah zat yang
dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi. Ini adalah miskonsepsi umum
yang terjadi pada siswa yang biasanya terjadi karena kesalahan penekanan saat
penjelasan konsep. Dilihat dari komponen konsepnya, jelas bahwa miskonsepsi ini
tergolong dalam miskonsepsi pada tingkat definisi. Berdasarkan sumbernya,
miskonsepsi ini termasuk dalam salah paham konseptual.
Kesetimbangan yang dicapai dari reaktan berbeda dengan kesetimbangan yang
dicapai dari produk. Miskonsepsi ini tergolong pada tingkat atribusi konsep,
karena siswa tidak dapat menjelaskan ciri kesetimbangan yang dapat dicapai dari
reaktan maupun produk. Berdasarkan sumbernya miskonsepsi ini adalah
ketidakmampuan siswa untuk menjelaskan konsep yang berhubungan dengan
kesetimbangan ini. Miskonsepsi ini adalah salah paham konseptual. Saat terjadi
kesetimbangan, tidak terjadi reaksi sampai ada penambahan dari luar. Ini juga
adalah miskonsepsi umum yang terjadi pada siswa yang biasanya terjadi
karena kesalahan penekanan saat penjelasan konsep. Miskonsepsi ini tergolong pada tingkat
atribusi konsep, karena siswa tidak dapat menjelaskan ciri kesetimbangan, yaitu
pada saat kesetimbangan tercapai, reaksi tetap berlangsung. Miskonsepsi semacam
ini merupakan bentuk miskonsepsi dialek, karena berasal dari kata kesetimbangan
atau seimbang yang sudah dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari, yang
berarti setara dan diam Bening adalah kata yang biasa dimunculkan untuk
menjelaskan warna larutan yang tidak berwarna. Padahal bening atau jernih dapat
berarti bahwa larutan tetap berwarna akan tetapi dapat tembus cahaya. Bening
merupakan bentuk miskonsepsi dialek.
Pada
kegiatan MGMP SMP di suatu tempat, para guru hafal tentang hukum pemantulan
yang berlaku pada cermin. Kemudian didemonstrasikan hukum pemantulan tersebut
di atas selembar kertas di atas meja. Sinar datang, garis normal, dan sinar
pantul terletak pada satu bidang datar. Kemudian pertanyaannya dimanakah letak
bidang datar yang dimaksud?
Garis Normal
Sinar Datang
Sinar Pantul
Dari sejumlah yang hadir hampir 80%
memberikan jawaban bahwa bidang datarnya adalah bidang kertas di atas permukaan
meja. Jadi sinar datang, garis normal dan sinar pantul terletak pada bidang
datar yang berada di permukaan kertas di atas meja. Konsepsi yang demikian ini
diprediksi sudah ada dalam pikiran para guru sejak duduk di bangku sekolah,
baik sebagai siswa maupun waktu kuliah sebagai mahasiswa.
Contoh miskonsepsi yang lain,
misalnya yang terjadi dalam gerak benda-benda. Jika sebuah bola ditendang, maka
bola dapat melakukan gerak parabola. Kemudian para siswa diminta untuk
menggambarkan gaya-gaya yang bekerja pada bola ketika mencapai puncak. Dari
sekian banyak siswa ada yang menggambar gayanya sebagai berikut :
Gaya yang digambarkannya ada dua, yaitu gaya dengan
arah menyinggung lintasan dan gaya yang menuju ke pusat bumi, mengapa
demikian?. Siswa memberi alasan bahwa gaya yang menyinggung lintasan adalah
gaya lemparan yang menyebabkan bola tetap bergerak, dan gaya yang menuju ke
pusat bumi adalah gaya berat yang menyebabkan bola turun ke bawah. Dalam
pikiran siswa bahwa gaya lemparan masih ada yang menyebabkan bola akan tetap
bergerak. Pemikiran yang demikian inilah yang disebut sebagai miskonsepsi.
B. PELURUSAN MISKONSEPSI
Untuk mengetahui apakah dalam pikiran siswa terjadi miskonsepsi atau tidak,
maka perlu dilakukan evaluasi. Dalam hal ini perlu dilakukan tes atau evaluasi
untuk mendiagnosa pikiran siswa. Tes diagnotis perlu dilakukan oleh para guru
atau oleh para pemerhati terhadap miskonsepsi. Tes ini dapat disusun oleh guru
sendiri, misalnya untuk mengevaluasi miskonsepsi pada Hukum Newton Pertama
siswa diberi pertanyaan seperti berikut : sebuah bola bergerak lurus dengan
kecepatan tetap, pada bola bekerja gaya F1, F2, dan F3.
Arah gaya F1 dan F2 seperti terlukis pada gambar berikut
ini :
F1
F2
Kemanakah arah gaya F3 dan lukiskan pada gambar tersebut? Berilah
alasannya?
Setelah siswa diberi tes diagnotis miskonsepsi, kemudian hasilnya
dicermati. Apakah pada pikiran siswa terjadi miskonsepsi atau tidak. Jika
terjadi miskonsepsi, maka harus dicari penyebab dari miskonsepsi itu sendiri.
Sebagai contoh dari kasus gaya yang bekerja pada bola yang melambung ke atas,
siswa beranggapan bahwa dalam setiap gerakan benda harus ada gaya yang bekerja
mempengaruhinya. Selain itu siswa belum dapat membedakan antara gaya dan
momentum pada lambungan bola. Sebetulnya vektor yang digambarkan siswa pada
bola yang melambung adalah campuran ada kecepatannya dan ada gambar gayanya.
Jadi siswa masih rancu dalam membedakan antara vektor kecepatan, momentum, dan
gaya pada gerakan benda.
Miskonsepsi yang terjadi dalam pikiran siswa cenderung untuk dipertahankan,
dan terjadi resistansi, maksudnya sulit untuk dilakukan perubahan. Untuk
meluruskan miskonsepsi dapat dilakukan dengan cara remediasi. Dalam upaya
menghilangkan miskonsepsi sebagai teori lama dapat dilakukan dengan cara membangun
teori baru memberikan informsi yang lebih baik dengan mengemukakan bukti-bukti
eksperimen. Untuk merubah miskonsepsi, maka perlu digoyahkan lebih dahulu,
sehingga siswa akan meragukan akan kebenaran miskonsepsinya, misalnya dengan
cara memberikan konflik kognitif. Untuk menggoyahkannya dapat juga dilakukan
dengan memberikan gagasan anomali yang berupa gagasan kepada siswa yang
berperan sebagai pengganggu miskonsepsi yang dimilikinya.
Dari contoh miskonsepsi di atas, misalnya bagi anak yang mempunyai pikiran
bahwa matahari mengelilingi bumi, dapat diberikan konflik kognitif dengan
mengajaknya pergi ke luar kota dengan mengendarai mobil. Ketika mobil dipacu
kencang anak diminta untuk melihat keadaan pohon-pohon yang ada di tepi jalan.
Pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan pohon-pohon di tepi jalan? Anak
akan menjawab bahwa pohon-pohon tampak lari ke belakang. Dapat dikatakan kepada
anak bahwa pohon-pohon tersebut melakukan gerak semu terhadap mobil yang kita
tumpangi. Sebenarnya yang bergerak adalah mobil kita, sedangkan pohon-pohon
tetap diam di tempatnya. Gerakan semu tersebut seperti halnya gerakan matahari
terhadap bumi, sebenarnya bumilah yang bergerak mengelilingi matahari. Konflik
kognitif ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang sebenarnya ataupun dengan
menyajikan gerakan mobil melalui animasi simulasi dengan bantuan komputer.
Untuk kasus miskonsepsi sinar datang, garis normal, dan sinar pantul
terletak dalam bidang datar kertas di atas meja, konflik kognitifnya dilakukan
dengan melengkungkan permukaan kertas. Ketika kertas dilengkungkan kepada siswa
diajukan pertanyaan, dimanakah letak bidang datarnya sekarang. Untuk kasus gaya
yang bekerja pada bola yang melambung ke atas, konflik kognitif yang diberikan
pada siswa dengan cara demonstrasi atau dengan menyajikan animasi simulasi
gerakan parabola dengan komponen-komponen geraknya. Kerancuan dalam membedakan
antara vektor kecepatan, momentum, dan gaya pada gerakan benda dapat diatasi
atau dapat diluruskan.
BAB III
KESIMPULAN
Penutup
Miskonsepsi sebenarnya bukan hanya masalah ketidakpahaman siswa terhadap suatu
konsep yang dengan mudah diperbaiki dengan penjelasan verbal, akan tetapi lebih
jauh daripada itu miskonsepsi merupakan sumber dari ketidakmampuan siswa
memahami suatu konsep karena sifatnya yang resisten dan sukar untuk diperbaiki.
Oleh karena itu, mengetahui miskonsepsi yagn terjadi pada diri siswa adalah
sebuah keharusan dan kebutuhan guru. Dalam menganalisis miskonsepsi diperlukan
pedoman yang akan memberikan tuntunan tentang bagaimana sebaiknya menghadapi
miskonsepsi tersebut.
Dalam rangka
pengembangan kemampuan anak sangat penting seorang guru memilih dan menggunakan
beberapa metode yang hendaknya yang hendaknya menyesuaikan dengan pengetahuan
yang dibangun pada diri anak. Ada tiga faktor sebagai
penghalang utama pemahaman bagi siswa, yaitu : (1) pemilihan metode
pembelajaran yang cenderung mentoleransi
unitary ways of knowing, (2) substansi kurikulum yang cenderung
dekonstekstual, dan (3) perumusan tujuan pembelajaran yang jarang
diorientasikan pada pencapaian pemahaman secara mendalam. Kesalahan yang
bersifat teknis dan substansial ini, disamping menghambat pemahaman, juga
berpeluang menimbulkan salah pemahaman (misunderstanding) atau miskonsepsi
Agar pembelajaran IPA menjadi lebih menarik dan menantang salah satu
alternatifnya dapat menggunakan media pembelajaran animasi simulasi yang
berbasis ICT. Pada pembelajaran IPA, miskonsepsi yang terdapat dalam pikiran
siswa dapat mengganggu penyerapan konsep-konsep yang benar. Untuk mencegah dan
mengatasi terjadinya miskonsepsi pada siswa dapat ditempuh berbagai langkah.
Miskonsepsi di deteksi sedini mungkin, pada awal atau sebelum pembelajaran
sains dimulai. Bahan ajar yang disajikan dalam pembelajaran, jangan sampai mengulang
miskonsepsi yang ada pada pikiran siswa. Namun diusahakan untuk memperbaiki
miskonsepsi dengan memberi peranan pada siswa menjadi lebih aktif, memperbanyak
diskusi, dan melatih siswa berkir kritis.
Jika dipandang perlu guru harus berani mengambil inisiatif merubah urutan
bahan ajar yang disajikan. Misalnya momentum dapat disajikan lebih dalulu
daripada gaya. Guru harus menggunakan berbagai model, pendekatan dan metode
mengajar yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPA, agar siswa dapat mengembangkan
konsepsi yang dimilikinya. Sebaiknya secara periodik guru bersedia mendeteksi
miskonsepsi serta memberikan remediasi kepada siswa, misalnya pada setiap akhir
semester.
DAFTAR PUSTAKA
Angga Hasmiko.
2011. Makalah Semnas MIPA - Analisis
Miskonsepsi Konsep Laju Dan Kesetimbangan Kimia. UPT SMP Negeri 1 Lenteng.
Bowo Sugiharto.
2011. Miskonsepsi dalam Pembelajaran
Biologi. UNS : Surakarta.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku
Guru Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
N. Susanti.
2013. Pengaruh Implementasi Pembelajaran
Kontekstual Berbantun Multimedia Interaktif Terhadap Penurunan Miskonsepsi
(Studi Kuasi Eksperimen dalam Pembelajaran Cahaya dan Alat Optik di SMP Negeri
2 Amlapura). e-Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Indonesia Program Studi Administrasi Pendidikan
(Volume 4 Tahun 2013).
Sund, &
Trowbridge. 1973. Teaching Science by
inquiry in the Secondary School. Columbus, Ohio. Published by Charles
E.Merrill Publishing Company, A Bell & Howell Company.
Suwarto
dan Djumadi. 2011. Bahan Ajar PLPG
Paedagogik Khusus Bidang Studi IPA. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru
Rayon 13 FKIP-UMS.
Widha Sunarno.2012.
Remediasi Miskonsepsi Fisika Menggunakaan
Animasi Simulasi Komputer :Makalah Seminar Sehari MGMP Fisika SMP/MTs, 12 Mei 2012. Sukoharjo: MGMP IPA Fisika.